Diajukan
untuk Memenuhi Tugas :
Mata
kuliah : Studi Islam Integratif
Dosen
Pengampu : Dr. H. Muhammad Hasan Bisyri M.Ag
![]() |
Oleh:
MUHAMMAD
ZULQORNEIN
2052115064
PROGRAM
PASCASARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2016
I.
PENDAHULUAN
Pada saat ini umat Islam sedang menghadapi
tantangan dari kehidupan dunia dan budaya modern, studi kesilaman menjadi
sangat urgen. Studi Islam dituntut untuk membuka diri terhadap masuknya dan
digunakannya pendekatan-pendekatan yang bersifat objektif dan rasional. Dan secara bertahap
meninggalkan pendekatan yang bersifat subjektif doktiner, dengan demikian
diharapkan studi Islam akan berkembang dan mampu beradaptasi dengan dunia
modern. Urgensi studi Islam yang demikian dapat dipahami dan diuraikan di halaman
selanjutnya.
II.
PEMBAHASAN
A.
Umat Islam Saat Ini Berada Dalam Kondisi Problematis
Saat ini umat Islam berada dalam
posisi pinggiran (marginal) dan lemah dalam segala bidang kehidupan
sosial budaya. Dalam kondisi ini, umat Islam harus bisa melakukan gerakan
pemikiran yang dapat menghasilkan konsep pemikiran yang cemerlang dan
operasional untuk mengantisipasi perkembangan dan kemajuan tersebut. Umat Islam
jangan sampai terjebak dalam romantisme, dalam arti menyibukkan diri untuk
membesar-besarkan kejayaan masa lalu sebagaimana terwujud dalam sejarah Islam,
sementara umat Islam saat ini masih silau dalam menghadapi masa depannya.
Pemikiran itu tidaklah salah, tetapi suatu kemunduran karena penyimpangannya
akal dari fungsi sebenarnya. Dan akan lebih baik kalau dibarengi dengan
berbagai usaha yang serius dan penuh keyakinan untuk dapat mewujudkannya dalam
realitas kehidupan yang serba maju dan canggih ini.[1] Disadari atau tidak, ilmu seolah dipisahkan
menjadi “Ilmu Agama” dan “Ilmu Umum”. Dikotomi terhadap ilmu ini akhirnya
memaksa untuk meyakini adanya sistem pendidikan yang dualisme seperti
“pendidikan agama” dan “pendidikan umum”. Kepada sistem tersebut akhirnya
dikenal dengan “pendidikan tradisional” yang pertama dan “pendidikan modern”
yang kedua.[2]
Dalam posisi problematis itu,
jika mereka hanya berpegang pada ajaran-ajaran Islam hasil penafsiran Ulama
terdahulu yang merupakan warisan doktriner turun-temurun dan dianggapnya
sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan sudah paten, serta tidak ada
keberanian untuk melakukan pemikiran ulang, maka berarti mereka kemandekan
intelektual yang pada gilirannya akan menghadapi masa depan yang suram. Di sisi
lain, jika mereka melakukan usaha pembaruan dan pemikiran kembali secara kritis
dan rasional terhadap ajaran-ajaran Islam guna menyesuaikan terhadap tuntunan
perkembangan zaman dan kehidupan modern, maka akan dituduh sebagai umat yang
meninggalkan atau tidak setia lagi terhadap ajaran Islam yang dianggapnya sudah
mapan dan sempurna tersebut.[3]
Melalui pendekatan yang bersifat
rasional-objektif, studi Islam diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan
masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam
diharapkan dapat keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam
diharapkan dapat mengarah kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha
pembaruan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam yang merupakan
warisan doktriner turun-temurun dan dianggapnya sudah mapan dan sudah mandek
dan sudah ketinggalan zaman dan dunia modern, dengan tetap berpegangan pada
sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Alqur’an dan Hadits. Studi Islam
tersebut juga diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat
Islam, agar tetap menjadi seorang muslim sejati, yang hidup dalam dan mampu
menjawab tantangan serta tuntutan zaman modern maupun era globalisasi sekarang
ini.[4]
B.
Umat Manusia dan Peradabannya Berada Dalam Suasana Problematis
Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern telah membuka era baru dalam perkembangan
budaya dan peradaban umat manusia, yang dikenal dengan era globalisasi. Pada
era ini ditandai dengan semakin dekatnya jarak hubungan komunikasi antar bangsa
yang saling memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak
ada satu bangsa dan negara pun yang bisa berdiri sendiri secara terpisah dari
bangsa dan negara lainnya. Bangsa dan negara sudah maju sebaliknya eksistensi
bangsa dan negara yang sudah maju, sekalipun ketergantungannya itu memiliki
motivasi dan kualitas yang berbeda.[5]
Pada suasana semacam ini tentunya umat
manusia membutuhkan adanya aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma serta
pedoman dan pegangan hidup yang universal dan diakui atau diterima oleh semua
bangsa. Hal ini diperlukan demi terciptanya kehidupan yang aman dan damai di
antara mereka dan terjalinnya saling kerja sama dan tolong menolong antara
mereka guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup dalam kehidupan umat
manusia di dunia.[6]
Masalahnya adalah: “dari mana
sumber aturan, nilai dan norma serta pedoman hidup yang universal tersebut
diperoleh?” umat manusia dalam sejarah peradaban dan kebudayaannya memang telah
berhasil menemukan agama, filsafat, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun
demikian ternyata agama telah ditinggalkan oleh perkembangan filsafat, ilmu ini
di andalkan ternyata juga tidak mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup,
apalagi aturan-aturan yang universal. Dengan demikian agama, filsafat, dan ilmu
pengetahuan dipandang tidak mampu memberikan bimbingan, apalagi mengontrol
terhadap perkembangan budaya dan peradaban manusia pada masa modern dan era
globalisasi saat ini. Filsafat dan ilmu pengetahuan hanya mampu memberikan
pengetahuan dan ilmu pengetahuan semata-mata kepada manusia. Kaulah sasaran
ilmu pengetahuan sampai menyentuh pada aspek-aspek nilai, norma, hukum, dan
sebagainya, maka yang mampu dikembangkan hanyalah nilai-nilai, norma
hukum-hukum yang bersifat relatif, kondisional, temporal, sektoral, tidak
bersifat universal, dan manusiawi. Sementara itu teknologi modern justru
semakin menjadikan manusia-manusia modern kehilangan identitas diri (self-identity),
menurunkan derajat kemanusiaan, dan menyebabkan terjadinya proses dehumanisasi,
yang menjadikan manusia kehilangan sifat-sifat manusiawinya.[7]
Dengan demikian, manusia modern
pun berada dalam kondisi yang serba problematis. Jika ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dibiarkan berkembang terus secara bebas tanpa kontrol dan
pengarahan, maka akan menyebabkan terjadinya kehancuran dan malapetaka yang
mengancam kelangsungan hidupnya dan peradaban manusia itu sendiri. Agama dan
filsafat, yang semula diakui sebagai sumber nilai dan norma yang mereka anut,
ternyata tidak mampu memberikan nilai-nilai dan norma-norma hidup yang bersifat
universal yang mampu mengontrol dan mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Karena itu agama dan filsafat dipandang telah kehilangan
otoritasnya.[8]
Roger Garaudy yang dikutip dalam
buku karangan Muhaimin, mengemukakan analisisnya bahwa “perkembangan” filsafat
dan peradaban modern saat ini mendorong manusia kepada hidup tanpa tujuan dan
membawanya kepada kematian. Hal ini merupakan akibat dari perkembangan filsafat
barat modern yang salah arah, yang berpegangan pada:
1.
Konsep keliru tentang alam, alam dianggap milik manusia dan berhak
memanfaatkannya, termasuk merusaknya, sehingga manusia tidak memandang, kecuali
sebagai reservoir kekayaan alam dan tempat pembuangan sampah dan polusi.
Dengan cara ini, dengan habisnya sumber-sumber alam dengan polusi, manusia
telah menghacurkan lingkungannya yang vital dan menjadi pembantu yang tidak
sadar bagi peraturan entrophy, yakni kaidah tentang berkekurangan energi
dan bertambahnya kekaauan;
2.
Konsep yang tidak mengenal belas kasihan tentang hubungan manusia,
didasarkan pada individualisme tanpa kendali dan hanya menghasilkan masyarakat
persaingan pasar, konfrontasi, kekerasan; di mana beberapa kesatuan ekonomi
atau politik yang ketat dan sangat kuat memperbudak atau memangsa mereka yang
lebih lemah.
3.
Konsep yang menyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan hanya akan
merupakan kepanjangan dan penambahan kuantitatif dari keadaan sekarang, tanpa tujuan
kemanusiaan, dan tanpa hubungan dengan Tuhan, serta tanpa sesuatu yang
transenden yang mengatasi cakrawala ini, untuk memberikan arti kepada hidup
umat manusia dan mengelakkan mereka dari jalan yang menuju kematian.[9]
Dengan situasi problematis yang ditimbulkan
oleh pengetahuan dan filsafat modern dewasa ini. Situasi semacam ini bukan
hanya menimpa dan merupakan tantangan bagi bangsa-bangsa modern yang menjadi
penyebab timbulnya, akan tetapi juga menimpa dan merupakan tantangan bagi
seluruh umat manusia di seluruh dunia, termasuk dalamnya umat Islam.
Islam sebagai agama yang rahmatan
lil al-alamin, tentunya mempunyai konsep-konsep atau ajaran-ajaran yang
bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan manusia dan alam
semesta dari kehancurannya. Karena itu Islam harus bisa menawarkan nilai-nilai,
norma-norma, dan aturan-aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu
kepada dunia modern, dan diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif
pemecahan terhadap keadaan problematis. Kondisi ini juga berada dalam situasi
yang problematis. Kondisi kehidupan sosial budaya dan peradaban umat Islam
sendiri saat ini juga berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya berhadapan
dengan budaya dan peradaban manusia dan dunia modern. Karena itu, mampukah umat
Islam mewujudkan misi agamanya sebagai rahmatan lil al-alamin.[10]
C.
Design Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN: dari Pendekatan
Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkonektif
Perjalanan panjang cita-cita konversi IAIN
Sunan Kalijaga ke UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga seolah-olah hampir
berakhir ketika Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor: 1/ 0/ SKB/ 2004; Nomor: ND/ B.V/ I/ Hk.00.1/ 04 tentang perubahan
bentuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di Departemen
Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004.[11]
1.
Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kekhawatiran dan Membuka Peluang dan
Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka
kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Sebelum Senat Institut
menyetujui konversi IAIN ke UIN, kekhawatiran dan kecemasan tampak dalam
diskusi sidang Senat dan lebih-lebih di luar forum. Berbagai pertanyaan mulai
muncul ke permukaan: bagaimana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah
dan Usuluddin? Akankah fakultas-fakultas ini dipinggirkan dan dimarginalkan?
Bernasib samakah fakultas-fakultas ini dengan fakultas agama di Universitas
Islam Indonesia (UII) dan di lingkungan Universitas Muhammadiyah di seluruh
tanah air? Dan berbagai pertanyaan lainnya. [12]
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang
muncul, Pertama, yang harus digarisbawahi terlebih dahulu adalah adanya
catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada
Menteri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan
Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN, namun tugas pokoknya tetap
sebagai institut pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan
penyelenggaraan program nun-agama Islam (Umum) merupakan tugas tambahan”. Hanya
saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan
kelembagaan, pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas
keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik fokus penekanan
yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang ada pada
universitas.[13]
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini (fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah,
Tarbiyah, Usuluddin), dari semula berdiri memang telah dengan sengaja dibina,
dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun.
Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarang
tidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang
ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemologi baru yang selevel
dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan
berbagai penyesuaian di sana-sini (akan diuraikan lebih lanjut), sehingga
mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.[14]
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu
lebih luas daripada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam
maupun luar Negeri menjadi terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit
banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu
dirancang secara lebih cermat (akan diuraikan lebih lanjut). Pengembangan
kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah penelitian juga lebih dimungkinkan
dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum
lagi dalam kerja sama dengan dunia usaha.[15]
2.
Kegelisahan Ilmuwan terhadap Rancang Bangun Akedemik Ilmu-ilmu Keislaman
yang Dikotomis-Atomistik: Bayani, Irfani, Burhani
Pada dasarnya ilmu pengetahuan manusia secara
umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok: Natural Sciences,
Social dan Humanities. Oleh karenanya, untuk pendirian sebuah
Universitas, Departemen Pendidikan Nasional mensyaratkan dipenuhinya 6 program
studi umum dan 4 program studi sosial. Persyaratan ini bagus, namun para
ilmuwan sekarang mengeluh tentang output yang dihasilkan oleh model
pendidikan universitas yang berpola demikian. sama halnya keluhan orang
terhadap alumni perguruan tinggi agama yang hanya mengetahui soal-soal
“normativitas” agama, tetapi kesulitan memahami historisasi agama sendiri,
lebih-lebih historisitas agama orang lain.[16]
Pola dikotomis-atomistik dalam bangunan
ilmu-ilmu agama (Islam) yang biasa di ajarkan di PTKIN. Dalam skema dan bagan
di bawah ini (skema1), yang diambil inspirasinya dari karya-karya Muhammad Abid
al-Jabiry yang dikutip dalam buku karangan Amin Abdullah, dengan modifikasi di
sana-sini oleh penulis sesuai perkembangan telaah epistemologi dalam tradisi ilmu
pengetahuan, penulis ingin memperlihatkan struktur fundamental ulumuddin dalam
perspektif epistemologi bayan sekaligus dalam perbandingannya dengan
epistemologi ‘irfani dan burhani. Menurut al-jabary, corak epistemologi
bayani didukung oleh pola pikir fikih dan kalam. Dalam tradisi keilmuan
agama Islam di IAIN dan STAIN, besar kemungkinan juga pengajaran agama Islam di
sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum negeri dan swasta, dan lebih-lebih di
pesantren-pesantren, corak pemikiran keislaman model bayani sangatlah
mendominasi dan bersifat hegemoni sehingga sulit berdialog dengan tradisi
epistemologi Irfan dan Burhan. Oleh karenanya dalam bagan di
bawah penulis sebut sebagai corak atau model dikotomis atomistik.[17]
Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama Islam,
yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani saling terkait, terjaring, dan terpatri dalam
satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagaman Islam, menurut hemat
penulis, jauh lebih komprehensif, dan bukannya bercorak dikotomis-atomistis
seperti di jumpai sekarang ini.[18]
Skema 1
Keilmuan IAIN:
Pendekatan Dikomis-Atomistik
Sumber Imu Pengetahuan
|
Gugus Paradigmatik
|
Metodologi (Proses & Procedure)
|
Tipe Argumen
|
Tujuan Pembelajaran
|
Sifat dasar keilmuan
|
Pembidangan Ilmu
|
Akal (Aql)
|
Tajridiyyah (Abstraktif)
|
·
Bubtsiyyah
|
Demonstrasi
|
·
Idrak al sebab wa
al-musabbabat
|
Silogstik (al-matqiyyah)
|
Al-ilm al-husuly
|
Wahyu (Nash)
|
Lughawiyah (Kalam, Word)
|
·
Intintaiyyah
|
Jadaliyyah (al-Uqul-al-mutanafisah
|
·
Muqarabah al-nash al
waqqi
|
Justifikatif Repetitif (al-taqlidiyyah)
|
Al-ilm al-tauqify
|
Instuisi (Dhamir)
|
Dzauqiyyah
|
·
Tajribah Batiniyah
(experience)
|
Al-La’aqliyyah (Preverbal)
|
·
Universal Recipreocity
|
Partisipatif-instersubjektif
|
Al-ilm-hudury
|
3.
Meretas Jalan Baru Proyek Integrasi Epistemologi Keilmuan Era UIN
Pengembangan dan konversi IAIN ke UIN adalah
proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir
keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Bukan berubah asal berubah,
bukan sekedar ikut-ikutan, bukan pula sekedar proyek fisik. Konversi dari IAIN
ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi”
keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[19]
Proyek besar reintegrasi epistemologi
keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerja sama antara
disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat di masa yang akan datang.
Pendekatan interdisipliner di kedepankan, interkoneksitas dan
sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan
perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.
Skema Interconnected Entities
![]() |
Skema di atas alah proyek keilmuan yang
diemban oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN. Tampak dalam skema di atas bahwa
masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat
dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerja sama
dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain
untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri
sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan
mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan, demi untuk menyongsong
realisasi proyek keilmuan baru pada era UIN.[20]
Wallahu a’lam bisawab.
III.
PENUTUP
Melalui pendekatan yang bersifat
rasional-objektif, studi Islam diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan
masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam
diharapkan dapat mengarah kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha
pembaruan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam, dengan tetap
berpegangan pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Alqur’an dan
Hadits.
Untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam
yang asli dan murni, dan yang bersifat manusiawi dan universal, yang mempunyai
daya untuk mewujudkan diri sebagai rahmatan lil al-alamin. Dari situ
kemudian ditransformasikan kepada generasi penerusnya; dihadapkan dengan budaya
dan peradaban modern, agar mampu berhadapan dan beradaptasi dengannya.
Dari pendekatan-pendekatan urgensi studi
Islam Integratif, salah satunya yakni dari pendekatan dikotomis-atomistik ke
integratif-interkoneksi (desain pengembangan akademik IAIN meunuju UIN).
Sebagai perubahan, pengembangan dan juga pembaruan, maka di perlukan adanya
keterkaitan satu dengan yang lain dan di hubungkan dengan masing-masing rumpun
ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan
oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode
dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri,
terpisah antara satu dan lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhaimin, Studi
Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta, Prenada Media Group, 2014)
Baharuddin,
dkk, Rekontruksi Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik, (Bandung, PT
Remaja Rosdakarya)
Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012)
[1]
Muhaimin, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta,
Prenada Media Group, 2014), hlm. 4
[2]
Baharuddin, dkk, Rekontruksi Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik, (Bandung,
PT Remaja Rosdakarya), hlm. 22
[3]
Ibid
[4]
Muhaimin, Op cit. Hlm. 4
[5]
Ibid. Hlm. 5
[6]
Ibid.
[7]
Muhaimin, Op cit. Hlm. 6
[8]
Ibid,
[9]
Muhaimin, Op cit. Hlm. 7-8
[10]
Ibid.
[11]
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 361
[12]
Ibid, hlm. 365-366
[13]
Ibid, hlm. 366-367
[14]
Ibid, hlm. 367-368
[15]
Ibid, hlm. 370
[16]
Amin Abdullah, Op cit, hlm. 371
[17]
Ibid, hlm. 373
[18]
Amin Abdullah, Op Cit, hlm. 386
[19]
Ibid, hlm. 399
[20]
Amin Abdullah, Op Cit, hlm. 405
Tidak ada komentar:
Posting Komentar