Kamis, 02 Juni 2016

URGENSI STUDI ISLAM INTEGRATIF (Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkonektif )





Diajukan untuk Memenuhi Tugas :
Mata kuliah                    :           Studi Islam Integratif
Dosen Pengampu           :           Dr. H. Muhammad Hasan Bisyri M.Ag



preview_html_3aaf7fa1
 










Oleh:
MUHAMMAD ZULQORNEIN
2052115064


PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016



I.                   PENDAHULUAN

Pada saat ini umat Islam sedang menghadapi tantangan dari kehidupan dunia dan budaya modern, studi kesilaman menjadi sangat urgen. Studi Islam dituntut untuk membuka diri terhadap masuknya dan digunakannya pendekatan-pendekatan yang bersifat objektif  dan rasional. Dan secara bertahap meninggalkan pendekatan yang bersifat subjektif doktiner, dengan demikian diharapkan studi Islam akan berkembang dan mampu beradaptasi dengan dunia modern. Urgensi studi Islam yang demikian dapat dipahami dan diuraikan di halaman selanjutnya.



II.                PEMBAHASAN

A.    Umat Islam Saat Ini Berada Dalam Kondisi Problematis
Saat ini umat Islam berada dalam posisi pinggiran (marginal) dan lemah dalam segala bidang kehidupan sosial budaya. Dalam kondisi ini, umat Islam harus bisa melakukan gerakan pemikiran yang dapat menghasilkan konsep pemikiran yang cemerlang dan operasional untuk mengantisipasi perkembangan dan kemajuan tersebut. Umat Islam jangan sampai terjebak dalam romantisme, dalam arti menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan masa lalu sebagaimana terwujud dalam sejarah Islam, sementara umat Islam saat ini masih silau dalam menghadapi masa depannya. Pemikiran itu tidaklah salah, tetapi suatu kemunduran karena penyimpangannya akal dari fungsi sebenarnya. Dan akan lebih baik kalau dibarengi dengan berbagai usaha yang serius dan penuh keyakinan untuk dapat mewujudkannya dalam realitas kehidupan yang serba maju dan canggih ini.[1]  Disadari atau tidak, ilmu seolah dipisahkan menjadi “Ilmu Agama” dan “Ilmu Umum”. Dikotomi terhadap ilmu ini akhirnya memaksa untuk meyakini adanya sistem pendidikan yang dualisme seperti “pendidikan agama” dan “pendidikan umum”. Kepada sistem tersebut akhirnya dikenal dengan “pendidikan tradisional” yang pertama dan “pendidikan modern” yang kedua.[2]
Dalam posisi problematis itu, jika mereka hanya berpegang pada ajaran-ajaran Islam hasil penafsiran Ulama terdahulu yang merupakan warisan doktriner turun-temurun dan dianggapnya sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan sudah paten, serta tidak ada keberanian untuk melakukan pemikiran ulang, maka berarti mereka kemandekan intelektual yang pada gilirannya akan menghadapi masa depan yang suram. Di sisi lain, jika mereka melakukan usaha pembaruan dan pemikiran kembali secara kritis dan rasional terhadap ajaran-ajaran Islam guna menyesuaikan terhadap tuntunan perkembangan zaman dan kehidupan modern, maka akan dituduh sebagai umat yang meninggalkan atau tidak setia lagi terhadap ajaran Islam yang dianggapnya sudah mapan dan sempurna tersebut.[3]
Melalui pendekatan yang bersifat rasional-objektif, studi Islam diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam diharapkan dapat keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam diharapkan dapat mengarah kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaruan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam yang merupakan warisan doktriner turun-temurun dan dianggapnya sudah mapan dan sudah mandek dan sudah ketinggalan zaman dan dunia modern, dengan tetap berpegangan pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Alqur’an dan Hadits. Studi Islam tersebut juga diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat Islam, agar tetap menjadi seorang muslim sejati, yang hidup dalam dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman modern maupun era globalisasi sekarang ini.[4]

B.     Umat Manusia dan Peradabannya Berada Dalam Suasana Problematis
Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah membuka era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia, yang dikenal dengan era globalisasi. Pada era ini ditandai dengan semakin dekatnya jarak hubungan komunikasi antar bangsa yang saling memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada satu bangsa dan negara pun yang bisa berdiri sendiri secara terpisah dari bangsa dan negara lainnya. Bangsa dan negara sudah maju sebaliknya eksistensi bangsa dan negara yang sudah maju, sekalipun ketergantungannya itu memiliki motivasi dan kualitas yang berbeda.[5]
Pada suasana semacam ini tentunya umat manusia membutuhkan adanya aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma serta pedoman dan pegangan hidup yang universal dan diakui atau diterima oleh semua bangsa. Hal ini diperlukan demi terciptanya kehidupan yang aman dan damai di antara mereka dan terjalinnya saling kerja sama dan tolong menolong antara mereka guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup dalam kehidupan umat manusia di dunia.[6]
Masalahnya adalah: “dari mana sumber aturan, nilai dan norma serta pedoman hidup yang universal tersebut diperoleh?” umat manusia dalam sejarah peradaban dan kebudayaannya memang telah berhasil menemukan agama, filsafat, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian ternyata agama telah ditinggalkan oleh perkembangan filsafat, ilmu ini di andalkan ternyata juga tidak mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup, apalagi aturan-aturan yang universal. Dengan demikian agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan dipandang tidak mampu memberikan bimbingan, apalagi mengontrol terhadap perkembangan budaya dan peradaban manusia pada masa modern dan era globalisasi saat ini. Filsafat dan ilmu pengetahuan hanya mampu memberikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan semata-mata kepada manusia. Kaulah sasaran ilmu pengetahuan sampai menyentuh pada aspek-aspek nilai, norma, hukum, dan sebagainya, maka yang mampu dikembangkan hanyalah nilai-nilai, norma hukum-hukum yang bersifat relatif, kondisional, temporal, sektoral, tidak bersifat universal, dan manusiawi. Sementara itu teknologi modern justru semakin menjadikan manusia-manusia modern kehilangan identitas diri (self-identity), menurunkan derajat kemanusiaan, dan menyebabkan terjadinya proses dehumanisasi, yang menjadikan manusia kehilangan sifat-sifat manusiawinya.[7]
Dengan demikian, manusia modern pun berada dalam kondisi yang serba problematis. Jika ilmu pengetahuan dan teknologi modern dibiarkan berkembang terus secara bebas tanpa kontrol dan pengarahan, maka akan menyebabkan terjadinya kehancuran dan malapetaka yang mengancam kelangsungan hidupnya dan peradaban manusia itu sendiri. Agama dan filsafat, yang semula diakui sebagai sumber nilai dan norma yang mereka anut, ternyata tidak mampu memberikan nilai-nilai dan norma-norma hidup yang bersifat universal yang mampu mengontrol dan mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Karena itu agama dan filsafat dipandang telah kehilangan otoritasnya.[8]
Roger Garaudy yang dikutip dalam buku karangan Muhaimin, mengemukakan analisisnya bahwa “perkembangan” filsafat dan peradaban modern saat ini mendorong manusia kepada hidup tanpa tujuan dan membawanya kepada kematian. Hal ini merupakan akibat dari perkembangan filsafat barat modern yang salah arah, yang berpegangan pada:
1.      Konsep keliru tentang alam, alam dianggap milik manusia dan berhak memanfaatkannya, termasuk merusaknya, sehingga manusia tidak memandang, kecuali sebagai reservoir kekayaan alam dan tempat pembuangan sampah dan polusi. Dengan cara ini, dengan habisnya sumber-sumber alam dengan polusi, manusia telah menghacurkan lingkungannya yang vital dan menjadi pembantu yang tidak sadar bagi peraturan entrophy, yakni kaidah tentang berkekurangan energi dan bertambahnya kekaauan;
2.      Konsep yang tidak mengenal belas kasihan tentang hubungan manusia, didasarkan pada individualisme tanpa kendali dan hanya menghasilkan masyarakat persaingan pasar, konfrontasi, kekerasan; di mana beberapa kesatuan ekonomi atau politik yang ketat dan sangat kuat memperbudak atau memangsa mereka yang lebih lemah.
3.      Konsep yang menyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan hanya akan merupakan kepanjangan dan penambahan kuantitatif dari keadaan sekarang, tanpa tujuan kemanusiaan, dan tanpa hubungan dengan Tuhan, serta tanpa sesuatu yang transenden yang mengatasi cakrawala ini, untuk memberikan arti kepada hidup umat manusia dan mengelakkan mereka dari jalan yang menuju kematian.[9]
Dengan situasi problematis yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan filsafat modern dewasa ini. Situasi semacam ini bukan hanya menimpa dan merupakan tantangan bagi bangsa-bangsa modern yang menjadi penyebab timbulnya, akan tetapi juga menimpa dan merupakan tantangan bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia, termasuk dalamnya umat Islam.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil al-alamin, tentunya mempunyai konsep-konsep atau ajaran-ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan manusia dan alam semesta dari kehancurannya. Karena itu Islam harus bisa menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada dunia modern, dan diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif pemecahan terhadap keadaan problematis. Kondisi ini juga berada dalam situasi yang problematis. Kondisi kehidupan sosial budaya dan peradaban umat Islam sendiri saat ini juga berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya berhadapan dengan budaya dan peradaban manusia dan dunia modern. Karena itu, mampukah umat Islam mewujudkan misi agamanya sebagai rahmatan lil al-alamin.[10]

C.    Design Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN: dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkonektif

Perjalanan panjang cita-cita konversi IAIN Sunan Kalijaga ke UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga seolah-olah hampir berakhir ketika Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 1/ 0/ SKB/ 2004; Nomor: ND/ B.V/ I/ Hk.00.1/ 04 tentang perubahan bentuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004.[11]
1.      Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kekhawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Sebelum Senat Institut menyetujui konversi IAIN ke UIN, kekhawatiran dan kecemasan tampak dalam diskusi sidang Senat dan lebih-lebih di luar forum. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagaimana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Usuluddin? Akankah fakultas-fakultas ini dipinggirkan dan dimarginalkan? Bernasib samakah fakultas-fakultas ini dengan fakultas agama di Universitas Islam Indonesia (UII) dan di lingkungan Universitas Muhammadiyah di seluruh tanah air? Dan berbagai pertanyaan lainnya. [12]
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digarisbawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Menteri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN, namun tugas pokoknya tetap sebagai institut pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program nun-agama Islam (Umum) merupakan tugas tambahan”. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan, pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik fokus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang ada pada universitas.[13]
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini (fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Usuluddin), dari semula berdiri memang telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarang tidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemologi baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana-sini (akan diuraikan lebih lanjut), sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.[14]
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daripada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupun luar Negeri menjadi terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat (akan diuraikan lebih lanjut). Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah penelitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerja sama dengan dunia usaha.[15]


2.      Kegelisahan Ilmuwan terhadap Rancang Bangun Akedemik Ilmu-ilmu Keislaman yang Dikotomis-Atomistik: Bayani, Irfani, Burhani
Pada dasarnya ilmu pengetahuan manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok: Natural Sciences, Social dan Humanities. Oleh karenanya, untuk pendirian sebuah Universitas, Departemen Pendidikan Nasional mensyaratkan dipenuhinya 6 program studi umum dan 4 program studi sosial. Persyaratan ini bagus, namun para ilmuwan sekarang mengeluh tentang output yang dihasilkan oleh model pendidikan universitas yang berpola demikian. sama halnya keluhan orang terhadap alumni perguruan tinggi agama yang hanya mengetahui soal-soal “normativitas” agama, tetapi kesulitan memahami historisasi agama sendiri, lebih-lebih historisitas agama orang lain.[16]
Pola dikotomis-atomistik dalam bangunan ilmu-ilmu agama (Islam) yang biasa di ajarkan di PTKIN. Dalam skema dan bagan di bawah ini (skema1), yang diambil inspirasinya dari karya-karya Muhammad Abid al-Jabiry yang dikutip dalam buku karangan Amin Abdullah, dengan modifikasi di sana-sini oleh penulis sesuai perkembangan telaah epistemologi dalam tradisi ilmu pengetahuan, penulis ingin memperlihatkan struktur fundamental ulumuddin dalam perspektif epistemologi bayan sekaligus dalam perbandingannya dengan epistemologi ‘irfani dan burhani. Menurut al-jabary, corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fikih dan kalam. Dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN, besar kemungkinan juga pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum negeri dan swasta, dan lebih-lebih di pesantren-pesantren, corak pemikiran keislaman model bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemoni sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi Irfan dan Burhan. Oleh karenanya dalam bagan di bawah penulis sebut sebagai corak atau model dikotomis atomistik.[17]
Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani saling terkait, terjaring, dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagaman Islam, menurut hemat penulis, jauh lebih komprehensif, dan bukannya bercorak dikotomis-atomistis seperti di jumpai sekarang ini.[18]

Skema 1
Keilmuan IAIN: Pendekatan Dikomis-Atomistik
Sumber Imu Pengetahuan
Gugus Paradigmatik
Metodologi (Proses & Procedure)
Tipe Argumen
Tujuan Pembelajaran
Sifat dasar keilmuan
Pembidangan Ilmu
Akal (Aql)
Tajridiyyah (Abstraktif)
·         Bubtsiyyah
Demonstrasi
·         Idrak al sebab wa al-musabbabat
Silogstik (al-matqiyyah)
Al-ilm al-husuly
Wahyu (Nash)
Lughawiyah (Kalam, Word)
·         Intintaiyyah
Jadaliyyah (al-Uqul-al-mutanafisah
·         Muqarabah al-nash al waqqi
Justifikatif Repetitif (al-taqlidiyyah)
Al-ilm al-tauqify
Instuisi (Dhamir)
Dzauqiyyah
·         Tajribah Batiniyah (experience)
Al-La’aqliyyah (Preverbal)
·         Universal Recipreocity
Partisipatif-instersubjektif
Al-ilm-hudury


3.      Meretas Jalan Baru Proyek Integrasi Epistemologi Keilmuan Era UIN
Pengembangan dan konversi IAIN ke UIN adalah proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Bukan berubah asal berubah, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan pula sekedar proyek fisik. Konversi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi” keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[19]
Proyek besar reintegrasi epistemologi keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerja sama antara disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat di masa yang akan datang. Pendekatan interdisipliner di kedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.

Skema Interconnected Entities
 












Skema di atas alah proyek keilmuan yang diemban oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN. Tampak dalam skema di atas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan, demi untuk menyongsong realisasi proyek keilmuan baru pada era UIN.[20]
Wallahu a’lam bisawab.

III.             PENUTUP

Melalui pendekatan yang bersifat rasional-objektif, studi Islam diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam diharapkan dapat mengarah kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaruan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam, dengan tetap berpegangan pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Alqur’an dan Hadits.
Untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang asli dan murni, dan yang bersifat manusiawi dan universal, yang mempunyai daya untuk mewujudkan diri sebagai rahmatan lil al-alamin. Dari situ kemudian ditransformasikan kepada generasi penerusnya; dihadapkan dengan budaya dan peradaban modern, agar mampu berhadapan dan beradaptasi dengannya.
Dari pendekatan-pendekatan urgensi studi Islam Integratif, salah satunya yakni dari pendekatan dikotomis-atomistik ke integratif-interkoneksi (desain pengembangan akademik IAIN meunuju UIN). Sebagai perubahan, pengembangan dan juga pembaruan, maka di perlukan adanya keterkaitan satu dengan yang lain dan di hubungkan dengan masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta, Prenada Media Group, 2014)
Baharuddin, dkk, Rekontruksi Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya)
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012)




[1] Muhaimin, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta, Prenada Media Group, 2014), hlm. 4
[2] Baharuddin, dkk, Rekontruksi Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya), hlm. 22
[3] Ibid  
[4] Muhaimin, Op cit. Hlm. 4
[5] Ibid. Hlm. 5
[6] Ibid.
[7] Muhaimin, Op cit. Hlm. 6
[8] Ibid,
[9] Muhaimin, Op cit. Hlm. 7-8
[10] Ibid.
[11] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 361
[12] Ibid, hlm. 365-366
[13] Ibid, hlm. 366-367
[14] Ibid, hlm. 367-368
[15] Ibid, hlm. 370
[16] Amin Abdullah, Op cit, hlm. 371
[17] Ibid, hlm. 373
[18] Amin Abdullah, Op Cit, hlm. 386
[19] Ibid, hlm. 399
[20] Amin Abdullah, Op Cit, hlm. 405

Tidak ada komentar:

Posting Komentar