MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas :
Mata
kuliah : Pendidikan
Spiritual dan Akhlaq
Dosen
Pengampu : Dr. K.H. Chusnan bin Djaenuri, M. A
Oleh:
MUHAMMAD
ZULQORNEIN
2052115064
PROGRAM
PASCASARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2016
I.
PENDAHULUAN
Tasawuf adalah bagian dari
syariat Islam, yakni perwujudan dari
ihsan, salah satu dari tiga
kerangka Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun
perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syariat. Maka Abu Yazid
al-Busthami mengatakan, sebagaimana dinukilkan oleh al-Qusyairi (1950-103),
kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu
betul konsistensinya terhadap syariat Islam.
Ajaran tasawuf
sering dianggap “berseberangan” dengan nilai-nilai hidup
masyarakat modern yang
lebih banyak bermuatan glamor,
pemujaan materi, persaingan
keras yang dipenuhi intrik dan
tipu daya, keserakahan, cinta dunia, dan lain-lain. Sementara
kemasan tasawuf sebagai
aspek ajaran Islam lebih
menekankan pada kerendahan
hati, kehidupan yang sederhana, zuhud terhadap dunia, cinta
sejati tanpa pamrih, dan lain-lain yang seakan-akan hanya cocok untuk
diaplikasikan pada pola hidup tradisional.
Inilah salah satu tantangan yang
dihadapi agama Islam yang di
dalamnya bersemayam tasawuf.
Sebagai sisi empirisitas keberagamaan Islam,
tasawuf dituntut peran
aktifnya secara
konstruktif-solutif terhadap
kemiskinan spiritualitas manusia modern yang
secara realitas sangat
berbeda dengan
setting maupun struktur
masyarakat pada saat
tasawuf ”dilahirkan”. Berbagai
anomali pada sisi empirisitas keberagamaan merupakan kemestian, karena
betapapun idealnya suatu konsep, pada suatu saat akan
mengalami keusangan dan
sampai pada batas kedaluwarsa.
Dalam konteks inilah
penataan ulang terhadap metodologi pengkajian
tasawuf diperlukan dalam
rangka mendinamisasikan
dengan realitas kekinian
sehingga mampu menjawab problem
spiritualitas masyarakat modern.
II.
PEMBAHASAN
A.
Manusia di Era Modern
Manusia modern
mengalami kehampaan spiritual, kehampaan makna dan legitimasi
hidup serta kehilangan visi dan mengalami
keterasingan
(alienasi). Menurut SH.
Nasr dalam jurnal karangan Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, krisis eksistensial yang
dialami manusia modern
akibat pandangan kosmologi modern
yang bersifat positivistik-antroposentris. Sedangkan menurut
Weber, kalkulabilitas rasional
kehidupan modern menciptakan bukan
kebebasan melainkan “sangkar besi” yang menurut Alvin Gouldner
dikatakan sebagai penderitaan
metafisis. Weber menyebut kondisi
masyarakat dunia modern sebagai kekecewaan dunia dalam arti tidak lagi
terkurung dalam sebuah dunia suci
dengan kekuatan magis
dan gaib tapi kemajuan
teknologi yang bersifat
positivistik. Mereka kehilangan
harapan akan kebahagiaan
masa depan seperti
yang dijanjikan oleh renaissance,
aufklarung, sekularisme, sains,
dan teknologi.
Lebih lanjut
Seyyed Hossein Nasr
mengatakan bahwa berbagai krisis
yang melanda manusia
modern seperti krisis ekologi, epistemologi
bahkan krisis eksistensial
berawal dari pemberontakan manusia
modern terhadap Tuhan.
Sehingga sains diciptakan hanya
berdasarkan kekuatan akal
saja tanpa cahaya intelek. Untuk keluar
dari krisis tersebut
Nasr menawarkan jalan untuk kembali kepada pesan dasar Islam yaitu seruan kepada
manusia untuk menyadari
siapakah manusia sebenarnya dan
untuk menyadari percikan
api keabadian yang terdapat di dalam dirinya sendiri
(fitrah).
Kondisi ini
menimbulkan usaha pencarian
paradigma baru tentang makna
hidup dan pemenuhan
diri yang sarat
dengan spiritualitas yang diharapkan
mampu mengobati derita
alienasi. Dalam Islam, untuk
membebaskan manusia dari
derita alienasi adalah dengan
menjadikan Tuhan sebagai
tujuan akhir (
ultimate goal) karena Tuhan Maha Wujud (
omnipresent) dan Maha
Absolut. Segala eksistensi yang relatif tidak akan berarti di hadapan
Yang Absolut. Kayakinan dan
perasaan seperti itu
akan memberi kekuatan, kendali,
dan kedamaian jiwa
sehingga manusia senantiasa
merasa berada dalam ”orbit” Tuhan.
B.
Dialog Tasawuf dan Modernitas
Tasawuf dalam
Islam merupakan gejala
yang tidak mudah untuk
diidentifikasi, terlebih lagi
jika memasuki wilayah
yang disebut
mystical experience. Tasawuf sering
diidentikkan dengan
Islamic Mysticism sebagaimana dikenal dunia Barat. Secara
etimologi kata
mystic berasal
dari bahasa Yunani,
myein, yang berarti menutup mata
dan terlindung di
dalam rahasia. Dalam pengertian ini
tersirat adanya suasana
kekudusan dan kekhususan dalam
upaya menangkap rahasia Yang Maha Agung melalui
disiplin spiritual yang
keras dan sungguh-sungguh. Tasawuf bersifat
misterius karena pada
dasarnya seorang sufi adalah orang yang sedang memasuki
wilayah misteri yang setelah melalui berbagai proses pentahapan (
maqâmât) mampu mencapai pengetahuan esoterik tentang
ketuhanan (
divine) yang absolut dan akhirnya
mengalami
“reborn into eternity” terlahir
kembali dalam keabadian.
Mistisisme adalah
suatu ajaran atau
kepercayaan bahwa pengetahuan tentang
hakikat Tuhan bisa
didapatkan melalui meditasi atau
kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan
pancaindra. Dengan kata lain
tasawuf merupakan bentuk pengalaman
spiritualitas seseorang yang
lebih menekankan pada “rasa” daripada “rasio”, bahkan sering disebut ilmu rasa (
dzawq),
karena faktor rasa
lebih dominan daripada rasio. Ketidakberpihakan tasawuf
pada rasio berbeda
dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya,
sehingga tasawuf tidak
mudah dikaji hanya dengan menggunakan upaya nalar dan intelektual.
Lebih mendalami arti tasawuf,
yakni suatu sistem latihan dengan kesungguhan (
riyadlah-mujahadah) untuk
membersihkan, mempertinggikan, dan memperdalam kerohanian dalam rangka
mendekatkan (
taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala
konsentrasi seseorang hanya tertuju kepadanya. Oleh karena itu, maka
al-Suhrawardi di kutip dalam buku karangan Amin Syukur, bahwa semua tindakan (
al-akhwal)
yang mulia adalah tasawuf.
Berbeda dengan
kehidupan modern yang
menggunakan paradigma positivisme dan hanya menganggap real benda-benda yang
bisa diamati secara positif (indrawi). Apapun yang bukan indrawi—tidak bisa
diobservasi—harus ditolak sebagai
ilusi. Pandangan positivisme inilah yang kemudian menjadi paradigma sains. Akibatnya
sains telah tersekulerkan. Dan
ini berarti pembatasan lingkup
sains hanya pada
bidang-bidang yang bisa diobservasi dan metodenya bertumpu pada
metode ilmiah yang berwatak empiris dan rasional.
Dalam masyarakat
modern, terdapat asumsi
bahwa agama merupakan kendala
modernisasi. Menurut Donald
Eugene Smith dunia tanpa
terkecuali mengalami
The
Grand Process of Modernization dalam
arti bahwa proses
sekularisasi itu pasti terjadi. Persepsi dan
apresiasi tentang Tuhan
tidak lagi mendapat tempat
terhormat. Dalam ungkapan Peter L. Berger, "nilai-nilai supernatural
telah lenyap dalam
dunia modern". Bahkan secara
dramatis dirumuskan oleh
filosof Jerman Friederich Nietzsche
bahwa "Tuhan telah
mati". Karena itu, manusia
tidak perlu lagi mencari perlindungan dan jawaban atas pertanyaan dari
agama melainkan dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Proses inilah yang oleh Harvey Cox disebut sekularisasi.
Dengan hilangnya
batasan-batasan yang dianggap
dan diyakini sebagai sakral
atau absolut, manusia
modern lalu melingkar-lingkar
dalam dunia yang serba relatif, terutama sistem nilai dan moralitas yang
dibangunnya. Hal ini juga dialami oleh orang
Islam yang sedikit
banyak telah terpengaruh
oleh kehidupan modern di
dalam medan polarisasi
di antara dua macam pandangan dan sistem nilai yang
bertentangan.
Pada satu sisi, nilai-nilai Islam
merupakan sebuah pesan dan petunjuk
bagi manusia yakni
sebuah Weltanschaung yang berdasarkan pandangan
bahwa manusia sebagai
khalifah Allah sekaligus hamba
yang sempurna serta
menaati setiap perintahNya.
Pada sisi lain,
orang Islam menyaksikan
bahwa hampir semua asumsi
dasar dari peradaban
Barat modern merupakan antitesa dari prinsip-prinsip Islam
yang mulia itu. Ia menyaksikan betapa alam semesta direndahkan menjadi satu
level realitas saja, sedangkan dan level-level
realitas yang lebih
tinggi (Tuhan) dianggap omong
kosong belaka. Betapa
kekuasaan manusia sebagai
pemimpin di muka bumi sedemikian ditekankan dengan mengorbankan penghambaannya kepada
Allah, sehingga manusia tidak
dipandang sebagai khalifah
Allah lagi, tetapi sebagai khalifah egonya sendiri,
khalifah dari kekuatan duniawi, konsumen modern. Sifat
hakiki manusia,
theomorphisme, disangkal secara
terang-terangan. Sifat yang dinyatakan
alQur'an sebagai
al-fithrah
telah ditinggalkan.
Akibat pandangan
dunia yang distorsif,
sains modern tidak lagi
mengkaji alam sebagai
“tanda-tanda” Allah melainkan sebagai realitas
independen yang dilepaskan
dari hubungan apapun dengan
Allah. Akibatnya, keyakinan
sains yang bisa menyibakkan realitas
sejati (al-Haqq) sehingga
bisa menambahkeyakinan manusia,
tidak terpenuhi tetapi
justru cenderung mengingkari-Nya.
Dalam al-Qur‟an
Allah menjelaskan diri-Nya
sebagai Yang Lahir dan
Yang Batin.
Dunia dan isinya
adalah pancaran dan alamat dari nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, semua realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin.
Demikian juga kehidupan manusia. Kehidupan lahir memang tidak sia-sia, namun
berpuas diri semata-mata dengan
masalah lahiriah merupakan pengingkaran terhadap
kodrat manusia yang
sebenarnya, yakni dasar-dasar
terdalam keberadaannya untuk melakukan perjalanan diri yang lahir ke yang
batin.
Tasawuf menjadi
urgen bagi masyarakat
modern karena tasawuf bisa
berfungsi sebagai alat
pengendali dan pengontrol manusia agar
dimensi kemanusiaannya tidak
tereduksi oleh modernisasi yang
mengarah pada anomali
nilai-nilai sehingga akan
mengantarkan manusia pada tercapainya keunggulan moral. Di samping itu,
signifikansi dan relevansi tasawuf bagi problema masyarakat modern
karena tasawuf secara
seimbang bisa memberikan kesejukan
batin dan disiplin
syari’ah sekaligus. Melalui pendekatan
tasawuf akhlâqî bisa
dipahami sebagai pembentuk tingkah
laku, sedangkan melalui
tasawuf falsafi bisa memuaskan dahaga
intelektual sesuai dengan
kecenderungan rasional masyarakat modern.
C.
Paradigma Baru Spiritualitas Masa Depan
Keterkaitan manusia
modern pada dunia
spiritual karena ingin mencari
keseimbangan baru dalam
hidup. Hal ini
bisa dicapai melalui transendensi
diri, artinya kehidupan
ini tidak hanya berhenti pada
realitas profan dalam konteks keterbatasan ruang dan
waktu, tetapi ditransendensikan pada
realitas yang mutlak (
ultimate
reality).
Mengisi hidup
dengan muatan spiritual
bisa menjadi paradigma baru
bagi manusia di
masa mendatang. Namun
di balik optimisme tersebut muncul pertanyaan tentang metodologi pengkajian tasawuf
yang bagaimana yang
mampu menyangga kebutuhan
spiritualitas manusia modern? Karena tasawuf
‟in old fashion‟ yang hanya
mengarahkan pelakunya bersifat
otonomi dengan unsur rasa
”dzawq” sebagai
satu-satunya pendekatan dalam mengarungi
dunia tasawuf hanya
melahirkan kesalehan individual dan
melupakan dimensi lingkungan
sosial. Seakanakan tasawuf hanya
menjadikan seseorang saleh secara personal bukan sosial.
Padahal salah satu
tujuan diturunkannya agama Islam adalah
rahmatan li al-‟âlamîn.
Hampir semua
pengalaman spiritual yang
dialami oleh para sufi bisa dikatakan selalu mengarah ke
dalam, dengan sendirinya bersifat subjektif. Karena itu sangat sulit untuk
dikomunikasikan apalagi ditransformasikan pada orang lain. Karena sifatnya yang
‟tersembunyi‟ itulah maka
tidak ada paradigma
yang bisa digunakan untuk menguji
keabsahan tasawuf secara aklamasi. Dunia
tasawuf dalam bentuk
old fashion ini
tidak bisa dilepaskan dari
kelembagaan tarekat yang
terjebak dalam formalisme ritual
dan cenderung mementingkan
wirid serta kurang mementingkan
ilmu pengetahuan yang
bersifat empiris dan rasional.
Sikap eksklusivitas tasawuf
juga demikian nyata; suatu
disiplin keras dan
ketundukan mutlak pada
syaikh, yang diibaratkan oleh
Junaid al-Baghdadi seperti ”sebujur
mayat di tangan orang yang
memandikan”.
Tampaknya untuk bisa keluar dari
semua persoalan tersebut tidak ada jalan lain bagi tasawuf selain melihat ilmu-ilmu sosial modern yang
bisa dijadikan landasan
berpikir selain al-Qur‟an dan
Hadis dalam rangka
menjawab perubahan zaman.
Salah satunya adalah filsafat
yang bisa dijadikan
partner dalam melakukan formulasi,
reformulasi dan evaluasi
serta reevaluasi atas berbagai
doktrin dan ajaran.
Semua doktrin dan ajaran tersebut
diposisikan bukan sebagai “barang
jadi”, akan tetapi
sebagai sesuatu yang
mesti direformulasi serta reinterpretasi secara
simultan sesuai dengan kebutuhan zaman, karena sifatnya yang
historis bukan normatif. Dengan bantuan ilmu filsafat maka tasawuf dapat
mempertajam rumusannya untuk menghindari
agar tidak terjebak
pada sifat transendental-spekulatif. Sehingga
bisa ditemukan bentuk metodologi pengkajian
tasawuf yang lebih
memenuhi standar keilmuan yang
bisa disepakati bersama
dan memberikan kontribusi signifikan
bagi umat secara
keseluruhan. Tasawuf yang dimaksud
tentunya tasawuf yang
telah diformulasikan secara
kontekstual-humanis-sosiologis dan bersifat
social salvation tanpa
meninggalkan kedalaman spiritual
individual. Dengan demikian Islam
yang di dalamnya
bersemayam tasawuf secara dinamis akan
senantiasa ”mengawal zaman”
dan selalu tercerahkan serta
mampu memberikan jawaban solutif terhadap setiap problem masyarakat modern.
Tasawuf sebagai
inti dan puncak
ajaran Islam, implisit
di dalamnya bahwa tasawuf
harus dikaji, ditelaah,
dan dipahami serta dicari
kebenarannya dengan tiga perspektif;
filosofis, sosiohistoris, dan spiritual-mistikal. Hal
ini sejalan dengan
trilogi agama Islam berupa
Iman (lingkup filosofis),
Islam (lingkup sosio-historis), dan
Ihsan (lingkup spiritual).
Karena dengan memadukan tiga
sudut pandang tersebut
akan dapat dipahami orisinalitas dan
otentisitas Islam sebagai
agama universal yang berlaku sepanjang zaman atau dengan kata
lain Islam adalah titik balik dari perenialisme agama-agama.
Sebenarnya ‘Islam’
tidak hanya bermakna
keselamatan, kesejahteraan,
kedamaian, dan unsur
sosiologis atau psikologis kemanusiaan yang
lain, namun letak
rahasia terbesar agama terakhir yang diberi nama „Islam‟
secara generik memiliki makna “berpasrah
diri dengan ketundukkan
total dan mutlak
kepada Allah."Sebagai
simbol formal penyerahan
diri itu, kaum muslimin
diwajibkan melaksanakan ibadah
salat dengan makna dasar sebagai do‟a atau permohonan
kebahagiaan masa sekarang dan masa depan.
Tiga perbendaharaan kata
dalam ibadah salat
adalah; niat salat yang
menyertakan kata
“lillâhi
ta‟âlâ” dan diawali
dengan kata basmalah mengacu
pada suatu sikap keyakinan yang kokoh pada yang dituju, yakni Tuhan
semesta alam. Dan hal inilah yang disebut sebagai iman. Makna generik iman
adalah sikap percaya. Akan tetapi dalam
dimensinya yang lebih
dalam iman tidak hanya cukup dengan sikap batin yang
percaya atau mempercayai sesuatu
belaka, tetapi menuntut
adanya perwujudan atau eksternalisasi dalam
pola perilaku. Makna
iman berarti sejajar dengan kebaikan dan perbuatan baik.
Sedangkan Ihsan adalah ajaran
tentang penghayatan akan
hadirnya Tuhan dalam
hidup, melalui penghayatan diri
sedang berhadapan dan
berada di hadirat-Nya ketika
beribadah. Lebih jauh menurut Nurcholish Madjid, “kesadaran
ketuhanan” (
God-consciousness) adalah kesadaran tentang
adanya Tuhan Yang
Maha Hadir (
Omnipresent) dalam
hidup manusia, yang berkorelasi langsung terhadap akhlak manusia. Hal ini
karena secara harfiah
Ihsan berarti “berbuat baik”, dan
pelakunya disebut muhsin.
Maka perpaduan antara iman dan islam pada diri seseorang
akan menjelma dalam pribadi dalam
bentuk
al-akhlâk al-karîmah atau
disebut ihsan.
Inilah dimensi sosial dalam tasawuf.
Ajaran tasawuf
sebenarnya bukan anti
kemodernan, penghambat kreatifitas
serta penghalang kemajuan. Akan tetapi justru mengarahkan manusia untuk
bersikap progresif, aktif dan produktif. Karena dunia dalam sistem eskatologi
Islam hanyalah perantara menuju akhirat,
maka alat atau
perantara itu harus dimaksimalkan penggunaannya. Dengan
kata lain
maqâmât
dan
ahwâl harus dirubah
menjadi mental ofensif
sebagai alat menghadapi problem
hidup menuju perjuangan
sosial yang bersifat horizontal
dan mewujudkan moral ke panggung sejarah.
Selain itu tuntutan yang muncul
dari akibat modernisasi dan industrialisasi
adalah pengembangan intelektual
agar memiliki kemampuan apresiatif,
dialogis, dan fungsional
terhadap perkembangan IPTEK. Dalam
tasawuf, sains adalah
salah satu metode agar setiap
orang menjalani tasawuf. Hanya saja metode yang
dimaksudkan dalam sains
di sini adalah
akalnya bukan hanya semata-mata
rasional (
fikr), tetapi
juga akal
dzawq. Sehingga kemajuan
IPTEK tidak menggiringnya
ke arah rasionalisme ekstrem,
sekuler dan materialistik, tetapi memenuhi ruang keilmuan dengan visi keillahian
sehingga tidak mengalami kehampaan
spiritual. Karena secara
epistemologis, tasawuf menggunakan metode
intuitif, yang di
abad modern ini
dapat dijadikan salah satu
alternatif dari rasionalisme
dan empirisme dan
membantunya untuk melakukan
terobosan baru dalam berbagai hal.
III.
PENUTUP
Ajaran tasawuf
sebenarnya bukan anti
kemoderenan, penghambat kreatifitas
serta penghalang kemajuan. Akan
tetapi justru mengarahkan manusia untuk bersikap progresif, aktif dan produktif.
Karena dunia dalam sistem eskatologi Islam hanyalah perantara menuju
akhirat, maka alat
atau perantara itu
harus dimaksimalkan
penggunaannya. Dengan kata
lain maqâmât dan ahwâl harus
diubah menjadi mental
ofensif sebagai alat menghadapi problem
hidup menuju perjuangan
sosial yang bersifat horizontal
dan mewujudkan moral ke panggung sejarah.
Dengan demikian
tasawuf tidak lagi
identik dengan sikap hidup
pesimisme dan sikap
pasrah kepada nasib
tanpa mau berusaha merubah jalan
hidup. Sebaliknya, tasawuf juga mampu menjadikan orang lebih bersikap optimis
dan dinamis. Pola pikir semacam
itulah yang akan
menjadikan tasawuf senantiasa dinamis dan
mampu berperan untuk
”mengawal zaman” dan selalu
tercerahkan serta mampu
memberikan jawaban solutif terhadap setiap problem masyarakat
modern. Wa alLâh a’lam bi al-shawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf (Studi
Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012)
Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004)
Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim,
Tasawuf dan Tantangan Modernitas, (Ulumuna, Volume XIV Nomor 2 Desember 2010)