MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas :
Mata
kuliah : Pendidikan Spiritual dan Akhlaq
Dosen
Pengampu :
1. Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A
2. Dr. K.H. Chusnan bin Djaenuri, M. A
3. Dr. H. Imam Khanafi al-Jauhari, MAg
Oleh:
MUHAMMAD
ZULQORNEIN
2052115064
PROGRAM
PASCASARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2016
I.
PENDAHULUAN
Dalam konteks mistisisme Islam
dinamis, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip shiddiq,
amanah, tabligh dan
fathanah. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan
berbagai distorsi terhadap
kehidupan masyarakat dan negara,
dapat dikategorikan termasuk perbuatan
fasad (korup), kerusakan
di muka bumi, yang
juga amat dikutuk
Tuhan. Sayangnya, perbuatan
korupsi tidak sampai disadari
sebagai salah satu
dari perwujudan syirik. Korupsi hanya disadari sebagai
bentuk salah satu perbuatan jahat dan bertentangan dengan
nilai-nilai kitab suci
al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Saw
sebagai dasar utama
rujukan kaum shufi
dan ajaran tashawwuf.
Di sinilah
agaknya letak urgensinya
tasawuf dalam membentuk kesadaran sikap dan perilaku seseorang agar tidak
tertipu memperoleh harta benda,
kekayaan, jabatan dan
kedudukan, dengan sikap tamak,
rakus dan illegal. tasawuf juga berperan sebagai upaya preventif
agar seseorang sadar
untuk tidak berperilaku menyimpang dalam meraih harta
kekayaan duniawi.
II.
PEMBAHASAN
1.
Makna Korupsi
Dilihat dari sudut terminologi,
istilah korupsi berasal dari kata “corruption” dalam bahasa Latin yang
berari kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan
atau perbuatan yang busuk.[1]
Al-Qur`an menggunakan term fasad (corruption dalam
bahasa Inggris,fu pai te dalam bahasa Mandarin dan fuhai
dalam bahasa Jepang) dalam makna merusak,
antara lain yang
terpenting terdapat dalam surah
al-Baqarah ayat 11
dan 12, dijelaskan
Tuhan larangan berbuat kerusakan (la
tufsidu fi al-ardhi)
dan perbuatan yang
seolah-olah membuat perbaikan di
muka bumi padahal
mereka melakukan perusakan (al-mufsidun), dianggap
sebagai ciri munafik
(hipokrit). Dalam surah al-A’raf ayat 127 adalah konteks rekaman
dialog Fir’aun dengan pembesar-pembesar kaumnya dimana kata kerja liyufsidu
fi alardhi digunakan untuk mengindikasikan kemungkinan
ajaran yang dibawa Nabi Musa
merusak kewibawaan Fir’aun.
Dalam surah al Syu’ara ayat 152 diceritakan bahwa kaum
Tsamud mendustakan Nabi Saleh. Nabi Saleh menyeru kaumnya agar tidak mengikuti
mereka yang melewati batas, yaitu merusak (yufsiduna fi al-ardhi) di
muka bumi dan tidak memperbaikinya. Dalam
surah al-Naml ayat 48 punya
konteks yang sama dengan surah al-Syu’ara ayat 152 yaitu pelajaran dari
kaum Nabi Saleh yang merusak di muka bumi (yufsiduna fi al-ardhi).
Konteks surah al-Qashash ayat 77 menjelaskan ketidaksukaan Tuhan terhadap Qarun
yang suka merusak di bumi (al-mufsidina). Sedangkan surah alFajr ayat 12
memiliki konteks peringatan Tuhan kepada ummat Nabi Muhammad Saw
yang membuat kerusakan
di negeri yang
nasibnya akan seperti mereka yang menentang kepada para nabi terdahulu. [2]
Perbuatan merusak
kalau dikaitkan dengan
ayat-ayat al-Qur`an di atas
termasuk ke dalam merusak di muka bumi terutama terhadap sesama manusia dan
alam. Terhadap manusia semua aktivitas manusia baik ekonomi,
sosial maupun politik,
misalnya, surah al-Muthaffifin ayat 1-5,
mengecam keras dan
diancam dengan siksa
yang sangat pedih bagi
mereka yang mengurangi
timbangan (takaran) dalam melakukan aktivitas perdagangan (jual
beli). Terhadap alam, tindakan manusia yang dapat menimbulkan masalah, baik
bagi manusia maupun alam semesta itu
sendiri termasuk ke
dalam tindak korupsi,
seperti banyak kasus illegal
logging (pembalakan liar)
dan penebangan kayu illegal
dalam beberapa dekade
ini di tanah
air, khususnya di
bumi Melayu (Riau) ini, telah mengakibatkan pencemaran udara yang massif
karena pembakaran hutan
di musim kemarau
(menimbulkan kabut asap sampai
ke negara jiran,
Malaysia dan Singapura),
angin puting beliung dan longsong
yang merusak banyak rumah dan banjir bandang dimana-mana di
musim hujan yang
merusak sarana transportasi dan komunikasi. Padahal al-Qur`an
mengingatkan, kerusakan di
muka bumi, di darat (udara) dan di laut akibat ulah tangan usil manusia
(alRum ayat 41). Perbuatan fasad
(korup), kerusakan di
muka bumi tersebut amat dikutuk
Tuhan. Perbuatan korupsi itu dalam perspektif shufisme disadari sebagai
salah satu dari
perwujudan syirik.[3]
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Makruf Amin, angkat bicara. Ia
menilai pidana hukuman mati juga bisa dijatuhkan terhadap para koruptor. Makruf
menambahkan, salah satu fatwa untuk para koruptor misalnya menyita semua harta
serta hukuman mati. Alasan pelaku kejahatan rasuah dibuat miskin lantaran sudah
mengambil uang rakyat. Selain itu, kata Makruf, dalam fatwa korupsi disebutkan
pula jika pejabat menerima hadiah yang bukan haknya dapat dikategorikan
perbuatan korupsi. Sebab, lanjut dia, pemberian tersebut merupakan jalan
pembuka sebelum tindak pidana korupsi.[4] Agenda
pemberantasan korupsi di
tanah air tidak dilakukan
seradikal di negeri
tirai Bambu (Cina)
yang dikenal dengan semboyan
Peti mati untuk
koruptor, tegar sejak Xi Jinping menjabat sebagai
Presiden China pada 14 Maret 2013.[5]
Secara umum korupsi didefinisikan
sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Robert Klitgaard
(2002), merumuskan pengertian umum korupsi dalam rumus:
C = M + D – A
Dari rumus tersebut dapat
dijelaskan bahwa, Korupsi (C=Corruption) adalah fungsi dari Monopoli (M=Monopoly)
ditambah kewenangan (D=Discretion) dikurangi Akuntabilitas (A=Acuntability).
Jadi korupsi dapat terjadi apabila ada monopoli kekuasaan di tengah
ketidakjelasan aturan dan kewenangan, akan tetapi tidak ada mekanisme
akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik (Robert, 2002).[6]
Tindak pidana korupsi telah
terjadi secara meluas ini telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang
tidak hanya merugikan tapi juga menghancurkan martabat bangsa kita dimata dunia
yang konon terkenal dengan etika ketimurannya. Dalam hal ini penulis ingin
mengemukakan penyebab dari bobroknya birokrasi serta penanggulangannya. Dalam
diri aparatur birokrasi dan pada warga negara kita pada umumnya telah mengidap
“penyakit jiwa” yang penulis bagi dalam tiga misal. Pertama, penyakit
spiritual. Kedua, penyakit mental.
Ketiga penyakit intelektual. Produk dari ketiga penyakit tersebut adalah
penyakit yang keempat, yakni penyakit moral.[7]
Menurut perspektif hukum, definisi
korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi
dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal
tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan
pidana penjara karena korupsi.[8]
Salah satu pasal-pasalnya, yakni
rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak
pada masuknya kata “dapat” sebelum unsur “merugikan keuangan/ perekonomian
negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk
yang paling banyak digunakan untuk memidana koruptor.[9]
2.
Jenis, Bentuk, Dampak dan hukumnya
Syed Husein Alatas (1987) dalam
jurnal M.Syamsudin, berdasarkan
hasil penelitiannya di Asia, terutama di Malaysia dan Indonesia mengemukakan tujuh
kategori korupsi, yaitu: (1) Korupsi transaktif yaitu uang yang menunjukkan adanya
kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima keuntungan
bersama. Kedua pihak samasama aktif dalam menjalankan perbuatan tersebut; (2)
Korupsi pemerasan yaitu jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap
demi mencegah kerugian yang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang
dan hal-hal yang dihargainya. Korupsi yang dilakukan oleh Polisi lalu lintas
termasuk jenis korupsi pemerasan; (3) Korupsi investif yaitu pemberian barang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan
yang diharapkan akan diperoleh pada masa mendatang. Bentuk korupsi seperti ini
dilakukan oleh yang memberi uang bulanan secara rutin kepada hakim. Harapannya
kelak ketika kasusnya masuk ke pengadilan, hakim yang telah digajinya langsung
menangani perkaranya; (4) Korupsi perkerabatan (nepotisme) yaitu penunjukan secara
tidak sah terhadap teman atau saudara untuk memegang suatu jabatan, atau
tindakan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau
peraturan yang berlaku; (5) Korupsi defensif. Korupsi ini dilakukan oleh korban
korupsi pemerasan. Dengan demikian orang yang diperas melakukan korupsi untuk menyelamatkan
kepentingannya. Korupsi seperti ini sering dilakukan oleh keluarga terdakwa
yang tidak ingin terdakwa ditahan atau diproses lebih lanjut; (6) Korupsi otogenik
yaitu korupsi yang dilakukan oleh seorang diri karena mempunyai kesempatan
untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu yang diketahuinya sendiri. Panitera pengadilan
kerap melakukan korupsi seperti ini dalam administrasi pendaftaran perkara. Ketidakjelasan
tarif pendaftaran membuatnya leluasa menentukan harga yang harus dibayar oleh
pengacara; (7) Korupsi dukungan yaitu dukungan terhadap korupsi yang ada atau
penciptaan suasana yang kondusif untuk dilakukaknnya korupsi. Korupsi ini
dilakukan oleh elit di lembaga peradilan yang tidak mempunyai kemauan politik
untuk menindak tegas bawahannya (Hussein, 1987).[10]
Fatwa Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada
Munas Alim Ulama dari kalangan NU di
Asrama Haji Pondok Gede, Agustus
2002 mengemukakan hal-hal sebagai berikut : (1) Dalam pandangan syariat,
korupsi merupakan penghianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat
dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian
(sariqah), perampokan (nahb); (2) Pengembalian uang korupsi tidak menggugurkan hukuman.
Karena tuntutan hukuman merupakan hak
Allah, sementara pengembalian uang korupsi ke negara merupakan hak
masyarakat (hak adamiy). Hukuman yang layak untuk koruptor adalah potong tangan
sampai dengan hukuman mati; (3) Money politicssebagai pemberian (berupa uang
atau benda lain) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil
dan obyektif dalam pandangan syariat merupakan suap (risywah) yang
dilaknat Allah, baik yang memberi
(rasyi), yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raaisyi) (Gatra,
2002).
Adapun Muhammadiyah dan NU
memiliki pengalaman dalam pemberantasan korupsi dan perwujudan integritas publik,
meski secara eksplisit keduanya tidak menggunakan istilah tersebut. Secara
internal, Muhammadiyah dan NU juga telah berusaha menjalankan prinsip
integritas dengan membudayakan pembuatan laporan setiap tahun, akhir periode
kepemimpinan, dan program yang didanai pihak luar. Budaya mewujudkan integritas
publik juga tampak dalam program sertifikasi aset lembaga, sistem audit,
penggunaan managemen yang sehat, dan tertib administrasi. Yang menarik,
keduanya telah menggunakan media massa untuk membangun integritas. Hal ini
dapat diamati melalui publikasi laporan pertanggungjawaban yang dimuat di media
komunitas masing-masing seperti Majalah
Matan dan Suara Muhammadiyah (Muhammadiyah Jatim) serta
Majalah Aula (NU Jatim). Sindikasi dengan media massa lain
seperti koran, radio, dan televisi juga digunakan dua ormas tersebut untuk
mempercepat usaha mewujudkan integritas publik.[11]
Akibat atau dampak adanya korupsi
di pengadilan, maka sudah dapat dipastikan sebagaian besar atau bahkan
seluruhnya, produk lembaga peradilan tidak mencerminkan rasa keadilan dan
kepastian hukum, karena disinyalir terjadi “main mata” di antara aparat penegak
hukum dengan para pihak pencari keadilan. Permainan seperti itu semakin memperburuk
bahkan mempercepat proses pembusukan lembaga peradilan yang pada gilirannya
akan menumbuhkan sikap antipati kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan.
Kemudian yang terjadi adalah munculnya serta tumbuh suburnya berbagai tindakan
main hakim sendiri di masyarakat dalam menyelesaikan sengketa.
Dari berbagai pengertian korupsi yang
telah dikemukakan di muka, nampak bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai dan norma-norma kejujuran, sosial, agama dan hukum. Namun
demikian munculnya korupsi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan
kebutuhan individual maupun kelompok serta didukung oleh lingkungan
sosial-budaya yang mewarisi tradisi korup. Di samping itu budaya hukum elit
penguasa tidak menghargai kedaulatan hukum, akan tetapi lebih mementingkan status
sosial, ekonomi dan politik para koruptor . Budaya hukum internal penegakan hukum
sendiri juga tidak mendukung pemberantasan korupsi, yang ditunjukkan dengan
adanya praktek korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption).
Salah satu hukuman yang tertera
dalam buku Memahami Untuk Membasmi penerbit KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
, bahwa Rumusan pada pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999[12],
pertama kali termuat dalam pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan
terletak pada masuknya kata “dapat” sebelum unsur “merugikan keuangan/
perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal
ini termasuk yang paling banyak di gunakan untuk memidana koruptor.[13]
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini,
harus memenuhi unsur-unsur; (1) setiap orang; (2) memperkaya diri sendiri,
orang lain atau suatu korupsi; (3) dengan cara melawan hukum; (4) dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[14]
3.
Akar Sebab Korupsi
Jika ditilik sungguh-sungguh nama
resmi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada perbedaan
jelas dengan undang-undang pidana khusus yang lain, seperti Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Imigrasi. Pada
undang-undang yang tersebut pertama, ada kata pemberantasan di
tengah-tengah yang akan mengasosikan pikiran kita, bahwa seakan-akan dengan
undang-undang itu korupsi dapat diberantas, padahal telah terbukti dalam
sejarah, tuntutan pidana berlaka tidak akan memberantas kejahatan. Seperti
telah diuraikan oleh Thomas Moore (1478-1535) yang di kutip dalam karangan Andi
Hamzah, dalam 25 tahun ada 72.000 pencuri digantung di daerah yang penduduknya
tiga sampai empat juta orang saja, tetapi kejahatan terus saja merajalela.
Menurut Moore, dengan kekerasan saja tidak akan dibendung kejahatan. Untuk
memberantas kejahatan harus dicari sebabnya dan menghapuskannya. Dengan
demikian, kejahatan seperti korupsi pun tidak akan terberantas atau berkurang
kecuali kalau kita dapat menemukan sebabnya, kemudian sebab itu dihapuskan atau
dikurangi.[15]
Tentang kausa atau sebab orang
melakukan perbuatan korupsi di Indonesia, pelbagai pendapat telah dilontarkan.
Ditambah dengan pengalaman-pengalaman selama ini, kita dapat membuat asumsi
atau hipotesis misalnya sebagai berikut.[16]
(1) Kurangnya gaji dan Pendapatan Pegawai Negeri dibandingkan dengan kebutuhan
yang makin hari makin meningkat. Patut diingat bahwa kurangnya gaji pegawai
negeri ini dibandingkan dengan kebutuhan, semakin gawat manakala diperhatikan
kebutuhan yang semakin meningkat sebagai akibat kemajuan teknologi. Dan menurut
pendapat Schoorl, yang dikutip oleh Andi Hamzah, “di Indonesia di bagian
pertama tahun 60-an situasinya begitu merosot sehingga golongan-golongan besar
dari pegawai gaji sebulan hanya sekedar cukup untuk makan dua minggu. Dapat
dipahami bahwa situasi demikian itu para pegawai terpaksa mencari penghasilan
tambahan dan bahwa banyak di antara mereka mendapatkannya dengan meminta uang
ekstra”.[17] (2) Latar
belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab
meluasnya korupsi. Soedarso yang kutip dalam buku karangan Andi Hamzah, bahwa
menunjuk penyebab dari korupsi selanjutnya mengurai panjang lebar tentang latar
belakang kultur ini. Antara lain di katakan sebagai berikut. “Dalam hubungan
meluasnya korupsi di Indonesia, apabila itu di tinjau lebih lanjut, yang perlu
di selidiki tentunya bukan kekhususan melalui orang satu per satu, melainkan
yang secara umum meliputi, dirasakan dan mempengaruhi kita semua orang
Indonesia. Dengan demikian mungkin kita bisa menemukan sebab-sebab masyarakat
kita dapat menelurkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang.
Mengapa korupsi itu secara diam-diam di tolereer, bukan oleh penguasa,
tetapi oleh masyarakat sendiri. kalau masyarakat umum mempunyai semangat
antikorupsi seperti para mahasiswa pada waktu melakukan demontrasi antikorupsi,
maka korupsi sungguh-sungguh tidak akan dikenal.”[18](3)
Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien. (4) Moderenisasi.
mo·der·ni·sa·si /modérnisasi/ n proses pergeseran sikap dan mentalitas sbg
warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dng tuntutan masa kini.[19]
Menurut Koentjaraningrat dalam kutipan Andi Hamzah, memandang korupsi sebagai
salah satu kelemahan dalam pembangunan. Beliau mengatakan sebagai berikut.
“jelas bahwa banyak yang masih harus kita ubah kalau kita hendak mengatasi
penyakit-penyakit sosial budaya yang parah seperti krisis otoritas, kemacetan
administrasi, dan korupsi menyeluruh yang sekarang mengganas dalam masyarakat
kita itu. bagaimana caranya mengubah mentalitas yang berjiwa pembangunan?
Menurut hemat saya ada empat jalan ialah; (a) dengan memberi contoh yang baik;
(2) dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok; (3) dengan persuasi dan
penerangan; dan (4) dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru
untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam kalangan keluarga.[20]
Selo Sumardjan mengatakan bahwa korupsi,
kolusi dan nepotisme adalah dalam satu nafas karena ketiganya melanggar kaidah-kaidah
kejujuran dan norma hukum. Adapaun faktor sosial pendukung KKN adalah : (1)
Desintegrasi (anomie) sosial karena
perubahan sosial terlalu cepat sejak revolusi nasional, dan melemahnya batas milik
negara dan milik pribadi; (2) Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi
sosial beralih menjadi orientasi harta, kaya tanpa harta (sugih tanpo bondho)
menjadi kaya dengan harta; (3) Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan
bukan pembangunan sosial atau budaya; (4) Penyalahgunan kekuasaan negara
sebagai short cut mengumpulkan harta; (5) Paternalisme, korupsi tingkat tinggi,
menurun, menyebar, meresap dalam kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan
kesempatan menjadi kaya (aji mumpung); (6) Pranata-pranata sosial kontrol tidak
efektif lagi.
Evi Hartanti menyebutkan
faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi dikarenakan lemahnya pendidikan agama
dan etika, kolonialisme, kurangnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya sanksi
yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi,
struktur pemerintahan, perubahan radikal, dan keadaan masyarakat. Namun
demikian faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral
dan intelektual para pemimpin masyarakat (Hartanti, 2006).
Menurut Luhut M. Pangaribuan
(2002), perilaku koruptif yang terjadi pada hampir semua penegak hukum, bukan
karena moral yang rendah namun sebagai akibat terjadinya demoralisasi dari para
penegak hukum itu sendiri. Akibatnya,
menerima uang secara tidak halal, menurut persepsi mereka, bukanlah sesuatu
yang aneh lagi, akan tetapi menjadi suatu keharusan untuk mereka lakukan.
Setidaknya terdapat empat hal faktor penyebab yang dapat dikemukakan dari
perilaku koruptif dari para penegak hukum yaitu : (1) Kesejahteraan atau gaji rendah,
akan tetapi life style-nya tinggi; (2) Adanya
ketidakpercayaan timbal balik di antara penegak hukum itu sendiri; (3) Akibat pola korupsi yang terjadi pada masa
Orde Baru; (4) Tidak adanya standar profesi bagi advokat (Luhut, 2002).
Berdasarkan rekomendasi para
pakar hukum Center for The Independence
of Judge and Lawyer(CIJL) pada konferensi dua tahunan (17-22 September 2000) di
Amsterdam, disimpulkan bahwa judicial coruptionterjadi
karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan
dan institusi hukum (polisi, jaksa, advokat dan hakim). Khususnya jika hakim
atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji
berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti
suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan
sengaja berkas pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan
pribadi, sikap tunduk kepada campur tangan luar dalam memutuskan perkara karena
adanya tekanan, ancaman, nepotisme,
conflict of interest , kompromi dengan pembela advocat), pertimbangan
keliru dalam mutasi, promosi dan pensiun, prasangka memperlambat proses
peradilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik (Putu,
2001).[21]
4.
Solusi Amalan Tasawuf (Praktis-Implemetatif)
Tasawuf sesungguhnya
berbicara bagaimana mengembangkan
opini dan sikap
preventif agar seseorang
tidak berperilaku eksesif dalam
menyikapi harta kekayaan
dan dunia yang mempesona. Tindak korupsi yang merupakan
tindak melawan hukum dengan maksud memperkaya
diri sendiri atau
orang lain yang mengakibatkan kerugian perekonomian
negara atau perusahaan, harus segera diberantas dari semua bidang dan sektor.
Karena tindak korupsi mengakibatkan
pembangunan ekonomi semakin
terpuruk, mempersulit
demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik
(good governance). Di antara
langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk membunuh tindak
korupsi di bumi
pertiwi ini, salah
satunya adalah dengan cara
memperbaiki citra dan
jati diri manusia yaitu
dengan memperbaiki sikap, pemikiran
dan tingkah laku
manusia sebagai ummat beriman,
bertauhid dan bertashawwuf.
Shufisme dinamis dapat
dijadikan sebagai landasan
moral dan etika,
sebagai salah satu upaya
preventif untuk menghindari
tindak korupsi. Karena
di dalam ajaran shufisme
dinamis ditawarkan mengembangkan
sikap positif terhadap dunia,
baik di dalam
politik, sosial, spiritual
maupun ekonomi dan seni.
Maknanya, shufisme dinamis
dimaknai bukan berarti meninggalkan
segalanya untuk berkhalwat,
beruzlah, hidup zuhud, qana’ah,
tawakkul, shabar dan wara
dalam interpretasi yang negatif. Begitu juga berperilaku shufi
bukan berarti harus menjauhkan diri dari dunia nyata. Tashawwuf tahrikijustru mengangkat kemampuan
keshufian justru di
dalam dunia, umpamanya
mampu memposisikan kerja sebagai
pengabdian yang tulus
dan mendapatkan bimbingan pengalaman spiritual di
tengah-tengah asyiknya sebuah jabatan dalam suatu pemerintahan
dan kekuasaan, dengan
kemampuan mengembangkan sikap
positif secara dinamis
tehadapdunia, hal itu adalah suatu prestasi yang cukup besar nilainya.
Dengan pemahaman
shufisme dinamis mampu
menuntun manusia
melaksanakan ajaran Islam
dengan sempurna dan
mencapai al-insan al-kamil. Justru
itu, tugas besar
seorang muslim, mukmin
dan muhsin, dalam memperoleh kebahagiaan hidup menegakkan hubungan
sosial, bukan melalui ‘uzlah dan khalwat
yang
ditakwilkan dan dipraktekkan secara pasif.[22]
Menghindari hal-hal yang berlebihan, menunjukkan sikap hemat. Sikap sederhana,
mengindari hidup berlebihan, kemewahan. Zuhud akan melahirkan sikap menahan
diri dan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang produktif.[23]
Zuhud (asketik) selama ini
difahami sebagai anti keduniaan, menjauhi
kehidupan materi dan menganggap
harta benda sebagai penghalang dalam ibadah. Namun, jika dicermati dalam
sejarah shufi, tidak sedikit mereka yang hidup kaya, karena hasil dari
penjualan buah karya
mereka yang banyak
dan sebagai pedagang, seperti
Junaid al-Baghdadi (w.910 M), Muhyiddin al-Ghazali (1059-1111 M), Muhyiddin Ibnu
Arabi (1165-1240 M) dan Abdurrahman Shiddiq
al-Banjari (1857-1938 M
dari Indragiri Hilir,
Riau). Nabi Muhammad Saw sendiri
sebagai pedagang dan
pengembala kambing yang sukses
serta penunggang kuda yang mahir. Justru itu, seharusnya difahami bahwa zuhud
adalah anti keserakahan,
ketamakan dan kemalasan. Zuhud
berarti meninggalkan hal-hal
yang menyebabkan jauh dari Allah,
bukan meninggalkan dunia. Dengan demikian, zuhud dinamis dipratekkan
oleh mereka yang bekerja keras dan ingin
hidup kaya. Murtadha Muthahhari mengemukakan
prinsip utama zuhud menciptakan kebahagiaan
dan kepuasan individu
yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat, karena manusia
secara emosional terikat dengan masyarakatnya
dan mengemban tanggung
jawab moral. Kebahagiaan individu
tidak bisa terlepas
dari kesejahteraan dan kedamaian
sesama manusia. Dalam pandangan
shufisme dinamis, seorang zahid
memandang dunia dan
akhirat saling terkait
secara optimis. Dunia merupakan
pintu menuju akhirat
dan dunia adalah ladang
akhirat. Esensi kebahagiaan dan
kepuasan di akhirat
terletak pada pemenuhan komitmen dan tanggung jawab moral dialam dunia
yang dilakukan dengan penuh kesadaran. [24]
Begitu pula menurut Abuddin Nata,
sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini
dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang
tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara
itu. jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala
cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf
adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai
Tuhan.[25]
Menurut Imam
Ahmad ibnu Hanbal
(w.241 H) terdapat
tiga tingakatan zuhud (awam,
khawash dan arifin).
Zuhud awam yaitu meninggalkan segala yang haram. Zuhud
khawash yaitumeninggalkan hal-hal
yang berlebihan dalam
perkara yang halal.
Sedangkan zuhud yang paling
tinggi adalah tingkat
arifin yaitu orang
yang mampu meninggalkan apa saja
yang dapat memalingkan diri dari Allah Swt. Dari tingkatan
zuhud tersebut dapat
ditangkap nilai-nilai yang kondusif untuk upaya menyirnakan
kemiskinan, menanggalkan hal-hal yang
haram, menuntun orang
mencari kekayaan secara
tulus lewat kerja keras,
menghindari suap menyuap
dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk
mengurangi pengangguran. Dalam
kaitan zuhud dalam Islam, apa
yang ditemui Max Weber (1864-1920 M) tidak ada kapitalisme di Timur, tidak ada
etika asketis di dalam Islam, dikecam keras
oleh Bryan S.Turner,
dalam karyanya Sosiologi Islam, suatu Telaah
Analitis atas Tesa
Sosiologi Weber, seolah-olah
ia ingin menciptakan The
Islamic Ethic and
the Spirit of
Capitalism (Etika Islam dan
Semangat Kapitalisme), sebagai kembaran dari karya monumental Max Weber The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism. Semangat kapitalisme
itu bersandarkan kepada
cita ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional
dan sanggup menahan
diri. Maxim Rodinson, dalam karyanya
Islam and Capitalism,
kecewa karena sebenarnya ia
merasa bahwa Islam
memiliki semacam superioritas dalam ajarannya,
tapi superioritas itu tidak
muncul dalam kehidupan empiris.
Sikap lain
yang menunjang mentalitas
anti korupsi adalah qana’ah. Qana’ah dalam shufisme sering difahami sebagai sikap
nrimo yaitu mudah menyerah
dan menerima apa
adanya, tanpa usaha maksimal.
Tuntutan untuk kemajuan dianggap sebagai
hal yang tidak begitu perlu, karena
bertentangan dengan sikap
nrimo. Pemahaman seperti itu
jelas keliru. Qana’ah
dalam pandangan shufisme
dinamis difahami sebagai sikap yang tulus untuk menerima hasil sesuai
dengan kerja yang dilakukan,
tidak serakah, tidak
menuntut hasil yang lebih banyak
dengan kerja yang
kecil, tidak hasad
dan tidak mengkhayal. Produktivitas sesuai
dengan kemampuan dan
tingkat kerja yang dilakukan, itulah makna qana’ah. Justru
itu, qana’ah adalah salah satu sikap untuk menjadi kaya, namun belum tentu
dapat diamalkan oleh orang miskin.[26]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Jabir RA, yang
dikutip dalam buku Tasawuf Kontekstual karangan Amin Syukur, Nabi bersabda, “qona’ah
adalah harta yang tidak pernah sirna (al-qona’atu kanzun la yafna)”[27].
Sikap lainnya
yang mendukung anti
korupsi adalah tawakkul (sering ditulis
tawakkal, mungkin salah
kafrah, tapi yang
benar menurut penulis adalah
tawakkul, mashdar dari
tawakkala, yatawakkalu dan tawakkulan).
Tawakkul dalam shufisme
juga sering diidentikkan dengan
sikap pasrah dan
tanpa usaha keras
(fatalis). Pemahaman
demikian jelas keliru.
Justru itu, tawakkul
seharusnya difahami sebagai sikap akhir setelah bekerja dan berusaha
keras secara maksimal yang dilakukan
berulang kali sebelum
behasil. Setelah berusaha keras,
maka dengan bekal
tauhid, fikih dan
tashawwuf, keberhasilan
akhirnya tidak selalu
ditentukan oleh dirinya
sendiri. Dengan sikap tawakkul
akan terhindar dari
sikap frustrasi, depressi dan
stress. Adalah sangat
keliru kalau menempatkan
sikap tawakkul sebelum adanya
upaya maksimal.[28]
Menurut Abuddin Nata, orang yang
tawakkal pada Allah, seperti orang yang pada suatu saat menaiki pesawat
supersonik dengan kecepatan yang tinggi, tidak akan merasa nyaman dan
mengasikkan, jika ia selalu takut jatuh dan mati. Orang demikian akan merasa
tenang jika bertawakkal. Ia serahkan urusannya itu pada Tuhan, karena urusan
mati memang bukan di tangan manusia. Tugas manusia hanya mengupayakan agar
berbagai persyaratan keselamatan penerbangan telah dilakukan, misalnya keadaan
mesin pesawat, bahan bakar, kondisi pilotnya, baling-baling penggerak mesin,
roda untuk take off dan landing, dan seterusnya.[29]
Demikian pula dengan para pejabat dan
pemenggang amanah bagi masyarakat, dan juga wakil rakyat, yang sudah di sumpah
kan dalam pelantikan saat jabatan akan berlangsung, ironisnya banyak yang lalai
dengan emban atau amanah yang telah dipikulnya. Sehingga banyaknya oknum-oknum
di pemerintahan tidak berjalan dengan syarat-syarat dan ketentuan
masing-masing. Dalam buku karangan Elwi Danil, lebih jauh dikatakan, bahwa
kedalam tindakan itu termasuk perilaku penyuapan (penggunaan hadiah untuk
menyimpangkan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah), nepotisme (menggunakan
perlindungan oleh seseorang yang mempunyai hubungan darah atau keturunan
daripada berdasarkan kinerja), dan penyalahgunaan (penggunaan secara sah sumber
daya milik umum untuk manfaat pribadi).[30]
III.
PENUTUP
Tindakan korupsi
menurut tasawuf perlu disadari sebagai perbuatan
yang lebih buruk
daripada teroris, karena
dampak yang ditimbulkan dari
perbuatan korupsi ternyata
tidak dapat dipangkas dalam
hitungan waktu (jam,
hari, bulan dan
tahun). Penyimpangan korupsi terjadi
secara massif, berbeda dengan perbuatan teroris
yang hanya dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang.
Sebagai dampak yang
lebih besar adalah
korupsi melahirkan
penderitaan dan kemiskinan
struktural dan kultural
yang berkepanjangan karena banyak hak-hak sipil dirampas. Melukis wajah
zahid shufi, Di atas kanvas serban kaci, tasawuf harus mandiri, Menghindari
nepotisme dan korupsi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Press, 2012)
Akhmad Hasan Saleh, Sufi Governance (UNIVERSUM, Vol. 9 No. 2 Juli
2015)
Amin Syukur, Tasawuf dan Kritis, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2001)
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2012)
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, (Jakarta, Rajawali Pers, 2015)
Biyanto, Pemberantasan Korupsi, (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.
7, No. 1, Desember 2010: 29-56)
http://news.okezone.com/read/2015/03/03/337/1113148/mui-keluarkan-fatwa-hukuman-mati-bagi-koruptor
http://news.okezone.com/read/2015/10/05/18/1226446/inilah-pelaksanaan-hukuman-mati-koruptor-di-china
Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia, Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku untuk Memahami Tindak
Pidana Korupsi), (Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Agustus 2006)
M. Arrafie Abduh, Tasawuf
Tahriki; Anti Korupsi, (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Suska Riau,
Al-Fikra:Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli Desember 2011)
M. Syamsudin, Korupsi dalam
Perspektif Budaya Hukum, (UNISIA, V ol. XXX No. 64 Juni 2007)
[1] Elwi Danil, KORUPSI:
Konsep, Tindak Pidana dan Perkembangannya, (Jakarta, PT Raja Grfindo
Persada, 2014), hlm. 3
[2] M. Arrafie Abduh, Tasawuf
Tahriki; Anti Korupsi, (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Suska Riau, Al-Fikra:Jurnal
Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli Desember 2011), hlm. 364-365
[3] Ibid, hlm. 365-366
[4]http://news.okezone.com/read/2015/03/03/337/1113148/mui-keluarkan-fatwa-hukuman-mati-bagi-koruptor
[5]http://news.okezone.com/read/2015/10/05/18/1226446/inilah-pelaksanaan-hukuman-mati-koruptor-di-china
[6] M.Syamsudin, Korupsi
dalam Perspektif Budaya Hukum, (UNISIA, V ol. XXX No. 64 Juni 2007), hlm.
185
[7] Akhmad Hasan Saleh, Sufi
Governance (UNIVERSUM, Vol. 9 No. 2 Juli 2015), hlm. 233
[8] Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia, Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi), (Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,
Agustus 2006), hlm. 3
[9] Ibid, hlm. 9
[10] M.Syamsudin, Op cit, hlm.
186
[11]Biyanto, Pemberantasan
Korupsi, (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 29-56),
hlm. 55.
[12] Pasal 2 UU No. 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: (1) Setiap orang yang merasa melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit Rp.
200.000.000,00- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00-
(satu miliyar rupiah). (2) dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Op cit, hlm.
9
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Andi Hamzah, Pemberantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta, Rajawali
Pers, 2015) hlm. 9-10
[16] Ibid, hlm. 11-12
[17] Ibid, hlm. 14
[18] Ibid, hlm. 115-16
[19] Ebta Setiawan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/)
[20] Ibid, hlm. 20-21
[21] M.Syamsudin, Op cit, hlm.
188
[22] M. Arrafie Abduh, Op
cit, hlm. 380
[23] Amin Syukur, Tasawuf
dan Kritis, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 44
[24] M. Arrafie Abduh, Op
cit, hlm. 379-380
[25] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Press, 2012), hlm. 299
[26] M. Arrafie Abduh, Op
cit, hlm. 382
[27] Amin Syukur, Tasawuf
Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2012), hlm. 14
[28] M. Arrafie Abduh, Op
cit, hlm. 382
[29] Abuddin Nata, Op
cit, hlm. 298
[30] Elwi Danil, Op cit, hlm.
101-102