MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas :
Mata
kuliah : Studi Hadits Integratif
Dosen
Pengampu : Dr. Zawawi M.A
Oleh:
MUHAMMAD
ZULQORNEIN
2052115064
PROGRAM
PASCASARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2016
I.
PENDAHULUAN
Belajar
dalam Islam tidak cukup dengan memperlajarinya secara sepenggal-penggal saja.
Islam sebagai kajian ilmiah harus dipelajari dengan pendekatan yang tepat
secara utuh. Dengan kehadiran agama semakin Memahami hadis merupakan bagian
yang paling rumit, karena hadis adalah
segala sesuatu yang
dinisbatkan pada Nabi
Muhammad saw, baik
ucapan, perbuatan, maupun
ketetapannya dalam statusnya
sebagai utusan Allah. Nabi
Muhammad sebagai rasul
akhir zaman, aturannya
pun mestinya untuk
sepanjang zaman, padahal
kenyataannya Nabi Muhammad
itu hidup pada
waktu tertentu dan tempat tertentu
pula. Maka sudah
seharusnya pula memahami
hadis, tidak hanya
dengan pendekatan tekstual ,
kalau menginginkan agar
hadis senantiasa berlaku
sepanjang zaman, mengingat
problem kehidupan dewasa
ini semakin kompleks.
Oleh karena itu
perlu pendekatan secara
kontekstual, yaitu memahami
hadis atau sunnah
dengan mengacu pada
latar belakang, situasi
dan kondisi serta kedudukan
nabi ketika hadis atau sunnah itu ditampilkan.
II.
PEMBAHASAN
A.
Metode Tekstual dan Kontekstual
1. Pemahaman Hadis secara Tekstual
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tekstual mengandung makna naskah yang berupa:[1] a) Kata-kata asli dari pengarang, b) Kutipan dari
kitab suci untuk pangkal ajaran atau
alasan, b) Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato,
dan lain lain. Berdasarkan asal kata tekstual tersebut, dapat dirumuskan bahwa
yang dimaksud dengan pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis
berdasarkan makna lahiriah, asli, atau sesuai dengan arti secara bahasa.
Hal ini berarti bahwa
segala sesuatu yang tersurat pada redaksi (matan) hadis dipahami sesuai
dengan makna lughawi-nya, sehingga langsung dapat dipahami oleh pembaca.
Cakupan makna dan kandungan pesan yang ingin disampaikan oleh hadis dapat
ditangkap oleh pembaca hanya dengan membaca teks (kata-kata) yang terdapat di
dalamnya. Karena makna-makna tersebut telah dikenal dan dipahami secara umum
dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman
hadis dengan cara seperti ini dapat dikategorikan sebagai salah satu pendekatan
pemahaman hadis yang paling sederhana dan mendasar. Karena hanya dengan membaca
lafaz hadis dan memahami makna lughawi-nya pembaca dapat menarik
pemahaman dan gagasan ide yang dimiliki hadis.
Bila diklasifikasikan
menurut bentuk matan-nya, maka hadis-hadis yang dapat dipahami dengan
pendekatan ini adalah hadis-hadis yang bersifat jawȃmi' al-kalȃm yaitu
ungkapan yang singkat namun mengandung makna yang padat. Di antara contoh hadis
tersebut ialah hadis yang menjelaskan tentang “perang itu adalah siasat”,
seperti berikut:
الْحَرْبُ
خُدْعَةٌ. (رواه البخارى وغيرهما عن جابربن عبدالله)
Artinya: ”Perang itu
adalah siasat". (Hadis riwayat al
Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Jabir bin ‘abdullah)
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan
dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.
Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal serta tidak terikat oleh
tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja
pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan takluk
kepada lawan tanpa syarat.[2]
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. (رواه
البخارى ومسلم وغيرهما عن ابن عمر بلفظ مسلم)
Artinya: setiap (minuman) yang memabukkan adalah
khamar dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram. (hadis riwayat al
Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat
muslim)
Hadis tersebut secara
tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khamar tidak terkait oleh waktu dan
tempat. Dalam hubungannya dengan kebijaksaan dakwah, dispensasi kepada
orang-orang tertentu yang dibolehkan untuk sementara waktu meminum khamar
memang ada sebagaimana yang dapat dari proses keharaman khamar dalam al Qur’an.
Dispensasi itu untuk masa sekarang diterapkan, misalnya, pada orang yang baru
saja memeluk Islam, sedang dia selama sebelum memeluk Islam telah biasa meminum
khamar. Dia diperkenankan untuk tidak sekaligus pada saat memeluk Islam menghentikan
kebiasaannya itu; dia diperkenankan untuk secara bertahap, tetapi pasti,
berusaha menghentikan kebiasaannya meminum khamar.[3]
2. Pemahaman Hadis secara Kontekstual
Kata
“kontekstual”, secara kebahasaan, berasal dari
kata “konteks” yang secara rinci
mengandung dua arti:
1) bagian sesuatu uraian
atau kalimat yang
dapat mendukung atau menambah kejelasan
makna; 2) situasi
yang ada hubungan dengan suatu
kejadian. Kedua arti
itu dapat digunakan
untuk memahami hadis.
Sebagaimana halnya
al-Quran yang ayat-ayatnya turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa (baik
berupa kasus atau pernyataan sahabat) atau situasi tertentu yang lazim disebut
dengan asbȃb al-nuzȗl, begitu juga halnya dengan hadis-hadis Rasulullah
Saw. Di antaranya ada yang muncul dengan dilatar- belakangi oleh suatu
peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut asbab wurȗd al-hadȋs, yang
dalam tulisan ini disebut dengan konteks.
Memahami hadis dengan
pendekatan tekstual ternyata tak selamanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang muncul di tengah masyarakat, sehingga memunculkan kesan bahwa sebagian
hadis Rasulullah Saw. terkesan tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan
dan tak mampu mewakili pesan yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.[4]
Pemahaman hadis dengan
menggunakan pendekatan kontekstual yang dimaksud di sini adalah memahami
hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya
dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis
tersebut atau dengan perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji
konteksnya.
Hadis-hadis Nabi SAW.
Sebagai mitra Al Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat memberi
inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam
masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat
bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu
kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al
Qur’an dan al Hadis.
Dalam tulisan ini,
pemakalah mencoba untuk memberikan tawaran baru bagaimana cara melakukan fiqhul hadis (pemahaman hadis) dengan
pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-masing.
B.
Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadits
1.
Pendekatan Historis,
Sosiologi dan Antropologis
Pendekatan historis menekankan pada
pertanyaan mengapa Nabi SAW bersabda
demikian? dan Bagaimana kondisi
politik saat itu?, serta mengamati proses terjadinya. Adapun pendekatan
sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku
itu. Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu
pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi
pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang terjadi dengan manusia
dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan ruang dan waktu.[5]
2.
Aplikasi Pemahaman Hadis
Pendekatan Historis, Sosiologi dan Antropologis
a. Hadis tentang larangan wanita berpergian sendirian
قل
النبي صلى الله عليه وسلم: لا تسافر امرأة إلاومعها محرم.
“tidak dibolehkan
seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram
bersamanya.” (H.R. Al bukhori dan
Muslim)
Menurut
karangan Said Aqil Husin Munawwar, hadis tersebut tidak mempunyai asbabul wurud
khusus. Sementara, jika kita kita melihat kondisi historis dan sosiologis
masyarakat saat itu dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran Nabi SAW akan
keselamatan perempuan, jika dia berpergian jauh tanpa disertai suami atau
mahram. Mengingat pada masa itu, ketika seorang berpergian biasa menggunakan
kendaraan Onta, bighal, (sejenis kuda) maupun keledai dalam perjalanannya.
Mereka sering kali harus mengarungi padang pasir yang sangat luas,
daerah-daerah yang jauh dengan manusia. Di samping itu, wanita dianggap tabu
atau kurang etis jika berpergian sendirian.[6]
Oleh
sebab itu jika kondisi sekarang masyarakat sudah berubah, di mana jarak yang
jauh sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan adanya sistem keamanan
yang menjamin keselamatan wanita berpergian, maka sah-sah saja wanita pergi sendirian untuk menuntut ilmu, menunaikan
haji, bekerja dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, disini perlu reinterpretasi baru mengenai konsep mahram. Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person akan tetapi sistem keamanan yang menjamin keselamatan bagi kaum wanita itu.
Pemahaman semacam ini tampaknya akan lebih kontekstual, apresiasip dan
akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga kita tidak hanya
terpaku dan terjebak oleh bunyi teks hadis yang kadang cenderung bersifat
kultural, temporal dan lokal.
Pemahaman
yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis dan antropologis cenderung
lebih lentur dan kenyal dan elastis. Namun kemudian hal ini, tidak berarti kita
harus kehilangan ruh semangat nilai
yang terkandung dalam hadis tersebut.
Kontekstualisasi
pemahaman hadis tersebut di atas, didukung oleh data yang falid dari kandungan
hadis yang marfu’ (sampai Rasulullah) yang diriwayatkan al Bukhari dari “Ady
bin Hatim, sebagai berikut :
قل
النبي صلى الله عليه وسلم: يوشك أن تخرج الظعينة تقدم البيت (الكعبة) لازوج معها.
“Akan datang masanya, seorang perempuan penunggang onta pergi
dari kota (Hirah) menuju Ka’bah tanpa seorang suami bersamanya.” (HR. Al
Bukhari)
Hadis
tersebut sesungguhnya memberikan prediksi tentang datangnya masa kejayaan Islam
dan keamanan di seantero dunia dan sekaligus juga menunjukkan dibolehkannya
wanita berpergian tanpa suami atau mahram.[7]
Dapat
di pahami pula menurut jurnal Liliek Channa , Illah larangan hadis tersebut
adalah kekhawatiran akan
terjadi sesuatu atasnya atau
menimbulkan fitnah, karena
bepergian pada waktu
itu adalah dengan onta atau keledai, menempuh gurun dan belantara
atau jalan yang
sepi. Jika kekhawatiran
diletakkan dalam realitas sosial budaya
kekinian, di mana
perjalanan dapat dilakukan dengan pesawat
yang memuat 100
orang atau lebih
penumpang, atau naik kereta
yang berisi ratusan
penumpang dalam suasana yang
ramai, maka kekhawatiran
itu dalam beberapa kondisi
tidak signifikan lagi. Karena
itu, beberapa ulama
membolehkan seorang perempuan tanpa suami atau mahram pergi haji bersama
rombongan perempuan lain
yang terpercaya atau
bersama perempuan lain yang aman.[8]
Di
dalam jurnal Liliek Channa Aw, Memahami
Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual. Rasul
sangat memperhatikan situasi
dan kondisi sosial budaya
serta alam lingkungan.
Itu sebabnya ditemukan
dalam ruang dan waktu
tertentu Rasul melarang
suatu perbuatan, tapi pada
ruang dan waktu
yang lain, Rasul
menganjurkan perbuatan tersebut, atau
memberikan respons yang
berbeda terhadap persoalan yang
sama dari dua
sahabat yang berbeda.
Sebagai contoh diantaranya:
1.
Tentang ziarah
kubur, ketika akidah
umat dipandang belum begitu
kuat, Nabi melakukan
pelarangan atas ziarah
kubur, tetapi ketika akidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian
dicabut.
2.
Tentang etika
buang hajat, ketika
berada di lapangan
terbuka Rasul melarang buang
hajat menghadap atau
membelakangi kiblat karena dikhawatirkan
akan terlihat oleh
orang yang sedang shalat,
tetapi ketika di
dalam ruangan yang
relatif tertutup Rasul sendiri
terlihat membuang hajat,
menghadap atau membelangi kiblat.
Dengan demikian,
Rasul sangat mempertimbangkan situasi sosial budaya
masyarakat dan alam
lingkungan. Sikap Nabi yang seperti itu
mengisyaratkan akan adanya
pendekatan kontekstual atas
hadisnya.
Pemahaman
atas hadis dengan pendekatan
tekstual, hukum yang dihasilkan
adalah hukum nâsikh
dan mansûkh, artinya
teks yang terdahulu sudah
tidak berlaku dan
digantikan teks yang datang
kemudian. Hadis tentang
larangan ziarah kubur,
dan larangan buang hajat
menghadap atau membelakangi
kiblat, sudah dimansûkh (hapus/tidak
berlaku lagi hukumnya).
Tetapi, jika memperhatikan
suasana psikologis, siapa
saja yang akidahnya masih
lemah dan musyrik
karena ziarah kubur,
maka hadis pertama (larangan
ziarah kubur) tetap
berlaku baginya. Demikian juga
hadis tentang etika
buang hajat, jika memperhatikan alam
lingkungan (di tempat
terbuka), maka menghadap atau
membelakangi kiblat tetap dilarang.[9]
b. Konteks- Redaksional
Dalam konteks-redaksional, terdapat
beberapa hal yang
perlu diperhatikan untuk menentukan
apakah harus dipahami
secara tekstual ataukah kontekstual, antara lain:
1) Kata-Kata Metaforis (Majâz)
Hadis sebagai
pesan-pesan keagamaan disampaikan
dalam bahasa agama. Artinya,
sebagai sebuah bahasa
keagamaan tentu sedikit tidaknya
berbeda dengan bahasa
ilmiah atau bahasa umum.
Salah satu ciri
yang paling menonjol
dalam bahasa keagamaan adalah
seringnya pemakaian bahasa
metaforis. Hal itu agaknya tak
dapat dihindari karena untuk membahasakan dan mengekspresikan tentang
Tuhan dan objek
yang abstrak, sudah semestinya menggunakan
ungkapan yang familiar
dengan dunia indrawi, yaitu
dengan bahasa kiasan
dan simbol-simbol. Bahasa metaforis, seperti
ungkapan Komaruddin Hidayat dalam karangan Liliek Channa,
memiliki kekuatan yang bisa
mempertemukan antara ikatan
emosional dan pemahaman kognitif
sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan
merasakan sesuatu yang
berada jauh di belakang ucapan
itu sendiri.[10]
Bahasa metaforis
atau majâz dalam
bahasa Arab diungkapkan sebagai
kata yang dipakai
bukan pada makna
yang diperuntukkan baginya (bukan
makna aslinya) karena
adanya korelasi (‘alaqah) diikuti
dengan tanda-tanda yang
mencegah penggunaan makna asli
tersebut. Jadi, pengalihan makna
hakiki kepada majazi dilakukan
karena adanya ‘alaqah
dan qarînah (tanda-tanda)
yang menghalangi pemakaian makna asli tersebut.[11]
Pemakaian bahasa
metaforis dalam hadis
tidak hanya terbatas pada
hadis yang bersifat
informatif, tetapi juga
pada hadis-hadis yang mengandung
muatan hukum (hadis-hadis hukum). Dengan
demikian, memahami suatu
perkataan sebagai majâz, kadang
kala menjadi suatu
keharusan, sebab jika
tidak demikian seseorang akan
keliru menyimpulkan sebuah
tujuan yang dimaksudkan hadis.
Sebagai contoh, hadis
yang menyatakan: “Neraka mengadu
kepada Tuhannya: Ya
Tuhanku sebagianku memakan sebagian
yang lainnya. Maka
Allah mengizinkan baginya untuk
menjadi dua bagian;
sebagian di musim dingin
dan sebagian di
musim panas, yaitu
panas yang paling menyengat
dan dingin yang
paling menyengat pula.” Hadis
tersebut, haruslah dipahami
dengan pemahaman makna majâzi
dan ilustrasi seni
yang menggambarkan panas
yang amat sangat, sebagai
salah satu bagian
dari tubuh neraka
jahanam, sebagaimana ia juga
menggambarkan dingin yang
amat sangat sebagai bagian
lainnya dari neraka
jahanam tersebut. Dengan kata
lain, ungkapan “sebagian
di musim dingin
dan sebagian di musim
panas” adalah ungkapan
majâz dengan makna
majazi pula, yakni siksaan
neraka jahanam mempunyai
bentuk azab yang sangat panas dan
yang amat dingin.[12]
Contoh
lain, ketika Nabi bersabda: “Orang yang paling cepat menyusulku adalah
orang yang paling
panjang tangannya di antara
kalian”. Mendengar ucapan Rasul, para istrinya ada yang memahaminya secara
hakiki, yaitu tangan
yang panjang. Melihat fenomena itu Aisyah berkomentar,
mereka (para isteri Nabi yang lain)
saling memanjangkan tangannya
guna mengetahui siapa
di antara mereka yang
paling panjang tangannya
guna mengetahui siapa di antara
mereka yang cepat menyusul Rasul. Rasul tidaklah bermaksud demikian,
“panjang tangan” yang
dimaksud adalah dalam makna
kiasan, yakni orang
yang tinggi etos
kerjanya (banyak melakukan kebaikan). Dalam hal
ini, ternyata isteri
Nabi yang paling pertama
menyusul adalah Zainab
binti Jahsy, seorang wanita
yang kreatif, banyak
berkarya, dan suka bersedekah.[13]
Hadis yang
diucapkan Nabi relevan
dengan ruang dan waktu,
baik itu dari
segi sosial budaya
maupun alam lingkungan. Pemahaman sebuah kata pun
haruslah dalam waktu dan ruang di mana
hadis itu diucapkan,
meskipun kata itu
dalam ruang dan waktu
pembaca atau penafsir
sering dipakai dengan
makna yang lebih luas.
Artinya sebuah kata
tidak diberi muatan
makna yang terlalu jauh
melampaui masanya. Sebagai
contoh, kata tashwîr yang disebut
dalam hadis, tidaklah
dapat diberi makna
dengan gambar hasil pemotretan.
Kata itu lebih
tepat diartikan hanya sebatas
karya lukisan atau
pahatan. Sebab kata
tersebut dalam konteks masyarakat
Arab awal, pemotretan
belum ada bahkan belum
terlintas di benak
mereka. Kalaupun kata tashwîr atau shûrah untuk
konteks sekarang juga
bermakna hasil karya fotografi, hal itu tak lain adalah
perkembangan makna kata.[14]
2) Tujuan atau Maksud (Hadf) dari Hadis
Analisis
konteks-redaksional akan memberikan
perspektif baru tentang semangat
memahami teks secara
keseluruhan yang pada gilirannya
akan memberikan pemahaman
tentang maksud atau tujuan
(hadf) yang terkandung
dalam sebuah hadis.
Untuk itu, harus melakukan
pemahaman yang bersifat
filososfis, yakni menarik tujuan
atau maksud sebuah
ucapan Rasul. Maksud
atau tujuan yang diinginkan
dengan media haruslah
dibedakan dengan jelas. Hal
itu disebabkan karena
tujuan atau maksud merupakan realitas
yang bersifat statis
dan universal, tetapi media
senantiasa berkembang dan
terus berkembang artinya sifatnya temporal.
Karena itu, yang
harus dijadikan pegangan adalah “tujuan”
dan “maksud” (maqâshîd al-syarî‛ah) yang dikandung sebuah
hadis, karena media
merupakan pendukung bagi
tercapainya sebuah maksud.[15]
Sebagai contoh: (1) Rasul mengatakan:
“siwak itu membersihkan mulut dan
menjadikan Allah ridha.”
Tujuan atau maksud dari
hadis itu sebenarnya
adalah membersihkan mulut sehingga Allah
menjadi ridha karena
kebersihan itu. Sedangkan siwak merupakan
media untuk mencuci
mulut. Penyebutan oleh Rasul,
menurut Yusuf al-Qardhawi, dalam karangan Liliek Channa, karena siwak
cocok dan mudah didapat
di jazirah Arab.
Karena itu, siwak
dapat diganti dengan barang
lain, seperti odol
dan sikat gigi
yang kedudukannya sama
dengan siwak. (2)
Demikian pula ru‟yah
alhilâl untuk menetapkan
ramadhan. Zhahîr hadis
menentukan bahwa harus
melihat bulan untuk menentukan puasa Ramadhan. Melihat bulan
merupakan media untuk
sampai pada penetapan Ramadhan. Pada
saat itu melihat
bulan dengan mata
telanjang adalah cara yang
paling mudah. Tetapi
kemudian teknologi menawarkan media
yang lebih mudah
dan akurat. Karena
itu, media melihat bulan
dengan mata telanjang
bukan lagi merupakan suatu
keharusan disebabkan ada
media lain yang lebih mudah dan akurat.[16]
3) Kata-Kata Asing (Gharîb)
Kenyataan
lain yang perlu
menjadi perhatian pada
konteks redaksional adalah adanya
kata-kata asing (gharîb), baik
disebabkan oleh kata itu sendiri yang
teradopsi ke dalam penuturan hadis
ataupun kata biasa yang dalam konteks redaksional hadis itu sendiri
terasa sulit dipahami seperti
maknanya yang umum
dikenali. Para sahabat
ketika menemukan teks-teks hadis
yang bersifat gharîb,
mereka berijtihad untuk mengungkapkan maknanya
dengan merujuk pada
ucapan dan syair-syair kuno.
Dengan demikian, ilmu
gharîb al-hadîts memiliki peran yang
sangat penting. Sebagai
contoh, dalam salah
satu hadis Rasul mengatakan
bahwa barang siapa
yang berpuasa pada bulan
ramadhan dan melaksanakannya dengan
penuh keimanan dan ihtisâban,
akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.
Lafaz ihtisâban
adalah lafaz gharîb. Pada
umumnya orang memahami makna kata
tersebut dengan arti
“penuh pertimbangan.” Akan tetapi
yang dimaksud dengan
lafaz tersebut adalah
ikhlas.[17]
Dengan demikian, memahami
ilmu gharîb al-hadîts
merupakan salah satu upaya dalam memahami hadis secara kontekstual.
c. Batas-Batas Tekstual dan Kontekstual Hadis
Secara
umum M. Sa‛ad
Ibrahim yang dikutip Liliek Channa,
menjelaskan bahwa batasan kontekstual meliputi dua hal, yaitu:
1) Dalam bidang ibadah
mahdlah (murni) tidak
ada atau tidak
perlu pemahaman kontekstual.
Jika ada penambahan
dan pengurangan untuk penyesuaian
terhadap situasi dan
kondisi, maka hal tersebut adalah bid`ah.
2) Bidang di luar
ibadah murni (ghayr
mahdlah). Pemahaman
kontekstual perlu dilakukan
dengan tetap berpegang
pada moral ideal nas,
untuk selanjutnya dirumuskan
legal spesifik baru yang
menggantikan legal spesifik
lamanya. Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
a) Ide moral/ide dasar/tujuan
di balik teks
(tersirat). Ide itu ditentukan dari
makna yang tersirat
di balik teks
yang sifatnya universal, lintas ruang waktu, dan intersubjektif.
b) Bersifat absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.
c) Mempunyai visi keadilan,
kesetaraan, demokrasi,
mu’âsyarah bi al-ma‟rûf.
d) Terkait relasi antara
manusia dan tuhan
yang bersifat universal artinya
segala sesuatu yang
dapat dilakukan siapapun, kapan
pun dan di
mana pun tanpa
terpengaruh oleh letak geografis,
budaya dan historis
tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi
tekstualnya terletak pada keharusan seorang
hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah
atau beribadah) dalam kondisi
apapun selama hayatnya.
Namun memasuki ranah “bagaimana
cara muslim melakukan
shalat” sangat tergantung pada
konteks si pelakunya.
Berdasarkan penjelasan
di atas dapat
dipahami, mengapa untuk
ibadah murni (mahdlah) tidak
perlu dipahami secara
tekstual. Menurut analisa
Liliek Channa, di sinilah
peran Muhammad sebagai Rasulullah,
beliau punya otoritas
penuh tanpa campur tangan
ra‟yu manusia, dan
itulah yang dimaksud
firman Allah: ‛‛Dan tidaklah
yang diucapkannya itu
menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya.”[18]
Sedangkan
di luar ibadah
murni (ghayr mahdlah)
diperlukan pemahaman secara
kontekstual dengan tetap
berpegang pada moral ideal
atau nas mengingat
Muhammad saw. itu
sebagai Rasulullah di akhir
zaman sehingga syari’atnya
berlaku untuk kapan dan
di mana saja.
Di samping itu
perlu dipahami pula, bagaimana posisi
hadis disampaikan. Apakah
Muhammad saw. dalam posisi
sebagai qadlî (hakim),
pemimpin negara atau manusia biasa. Hal itu dapat dilihat
pula, apa yang dilakukan oleh sebagian
sahabat terhadap hadis
“jangan kamu shalat
ashar, kecuali di perkampungan
Banî Quraydhah,” sebagaimana penjelasan yang lalu.[19]
d. Langkah-langkah Kontekstual Hadis
Bertolak
dari dasar-dasar dan
batasan-batasan kontekstual tersebut di
atas maka langkah-langkah pemahaman
kontekstual dapat dilakukan sebagai berikut
1) Memahami teks-teks hadis
atau sunnah untuk
menemukan dan
mengidentifikasi legal spesifik
dan moral ideal
dengan cara melihat konteks
lingkungan awalnya yaitu:
Mekah, Madinah, dan sekitarnya.
2) Memahami lingkungan baru
di mana teks-teks
akan diaplikasikan,
sekaligus membandingkan dengan
lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan persamaannya.
3) Jika ternyata perbedaannya
lebih esensial dari
persamaannya maka dilakukan penyesuaian
pada legal spesifik
teks-teks tersebut dengan konteks
lingkungan baru, dengan
tetap berpegang pada moral
idealnya. Namun jika
ternyata sebaliknya, maka nas-nas
tersebut diaplikasikan dengan
tanpa adanya penyesuaian.[20]
Langkah-langkah itu perlu ditaati sebagai
rambu-rambu, agar tidak sampai terjadi penafsiran liar, yang pada akhirnya
hadis bisa dibawa kemana angin
bertiup, artinya mengikuti
kepentingan manusia yang bersumber dari hawa nafsu.
III.
PENUTUP
A.
Simpulan
Bahwa ternyata ada matan hadis Nabi yang
kandungan petunjuknya harus dipahami secara tekstual saja dan karenaya, tidak
di perlukan pemahaman secara kontekstual.
Perlunya pemahaman hadis dengan pendekatan
historis, sosiologis dan antropologis untuk menemukan pemahaman hadis yang
relatif lebih tepat, dinamis, akomodatif, dan apresiatif terhadap perubahan
serta perkembangan zaman, sekaligus pendekatan tersebut sebagai pisau analisis
dalam memahami hadis-hadis yang tidak memiliki asbabul wurud secara khusus.
Namun demikian, bukan berarti
pendekatan-pendekatan tersebut tanpa kelemahan. Ia mempunyai
kelemahan-kelemahan, antara lain adanya kesan ingin mencocokkan hadis dengan
kondisi perubahan masyarakat dan kondisi zaman, sehingga kita kadang terjebak
pada pemahaman yang terlalu dipaksakan. Untuk
itu, diperlukan kecermatan dalam penggunaan pendekatan tersebut. Dan pada
akhirnya, bagaimanapun upaya semacam itu merupakan konstrusi manusia yang
kebenaranya relatif dan masih bisa diperdebatkan. Waallahu a’lam bi ash-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Liliek
Channa Aw, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual (ULUMUNA Jurnal
Studi Keislaman, volume xv, nomer 2, desember 2011)
Maizudin,
Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang,
2001)
Said
Aqil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (telaah ma’ani al hadits
tentang ajaran Islam yang universal, temporal, dan lokal. (PT. Bulan Bintang,
1994)
Tim
Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001M),
[1]
Tim
Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001M), h.916
[2]
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual
dan Kontekstual (telaah ma’ani al hadits tentang ajaran Islam yang universal,
temporal, dan lokal. (PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 11
[3]
Ibid. Hlm. 12
[4] Maizudin, Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke
Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2001), h. 115
[5]
Said Aqil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 27
[6]
Ibid, hlm. 30
[7]
Ibid, hlm 32
[8]
Liliek Channa Aw, Memahami Makna Hadis Secara
Tekstual dan Kontekstual (ULUMUNA Jurnal Studi Keislaman, volume xv, nomer
2, desember 2011) hlm. 401
[9]
Ibid . hlm. 400
[10]
Ibid, hlm. 402
[11]
Ibid, hlm. 403
[12]
Ibid, hlm. 403-404
[13]
Ibid, hlm. 404
[14]
Ibid,
[15]
Ibid, hlm. 404-405
[16]
Ibid, hlm. 405
[17]
Ibid, hlm. 406
[18]
QS, An Najm (53): ayat 4-5.
إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ
يُوحَىٰ ٤ عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ ٥
[19]
Ibid, hlm. 410-411
[20]
Ibid, hlm. 411-412
Tidak ada komentar:
Posting Komentar