Minggu, 29 Mei 2016

STUDI INTERPRETASI HADITS (METODE MEMAHAMI HADITS TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL)

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas :
Mata kuliah                    :           Studi Hadits Integratif
Dosen Pengampu           :           Dr. Zawawi M.A



 











Oleh:
MUHAMMAD ZULQORNEIN
2052115064



PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016
I.                   PENDAHULUAN

Belajar dalam Islam tidak cukup dengan memperlajarinya secara sepenggal-penggal saja. Islam sebagai kajian ilmiah harus dipelajari dengan pendekatan yang tepat secara utuh. Dengan kehadiran agama semakin Memahami hadis merupakan bagian yang paling rumit, karena hadis  adalah  segala  sesuatu  yang  dinisbatkan  pada  Nabi  Muhammad saw,  baik  ucapan,  perbuatan,  maupun  ketetapannya  dalam  statusnya sebagai  utusan  Allah. Nabi  Muhammad  sebagai  rasul  akhir zaman,  aturannya  pun  mestinya  untuk  sepanjang  zaman,  padahal kenyataannya  Nabi  Muhammad  itu  hidup  pada  waktu  tertentu  dan tempat  tertentu  pula.  Maka  sudah  seharusnya  pula  memahami  hadis, tidak  hanya  dengan  pendekatan  tekstual ,  kalau  menginginkan agar  hadis  senantiasa  berlaku  sepanjang  zaman,  mengingat  problem kehidupan  dewasa  ini  semakin  kompleks.  Oleh  karena  itu  perlu pendekatan  secara  kontekstual,  yaitu  memahami  hadis  atau  sunnah dengan  mengacu  pada  latar  belakang,  situasi  dan  kondisi  serta kedudukan nabi ketika hadis atau sunnah itu ditampilkan.




II.                PEMBAHASAN

A.    Metode Tekstual dan Kontekstual
1.      Pemahaman Hadis secara Tekstual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tekstual mengandung makna naskah yang berupa:[1] a) Kata-kata asli dari pengarang, b) Kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau  alasan, b) Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan lain lain. Berdasarkan asal kata tekstual tersebut, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis berdasarkan makna lahiriah, asli, atau sesuai dengan arti secara bahasa.
Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang tersurat pada redaksi (matan) hadis dipahami sesuai dengan makna lughawi-nya, sehingga langsung dapat dipahami oleh pembaca. Cakupan makna dan kandungan pesan yang ingin disampaikan oleh hadis dapat ditangkap oleh pembaca hanya dengan membaca teks (kata-kata) yang terdapat di dalamnya. Karena makna-makna tersebut telah dikenal dan dipahami secara umum dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman hadis dengan cara seperti ini dapat dikategorikan sebagai salah satu pendekatan pemahaman hadis yang paling sederhana dan mendasar. Karena hanya dengan membaca lafaz hadis dan memahami makna lughawi-nya pembaca dapat menarik pemahaman dan gagasan ide yang dimiliki hadis.
Bila diklasifikasikan menurut bentuk matan-nya, maka hadis-hadis yang dapat dipahami dengan pendekatan ini adalah hadis-hadis yang bersifat jawȃmi' al-kalȃm yaitu ungkapan yang singkat namun mengandung makna yang padat. Di antara contoh hadis tersebut ialah hadis yang menjelaskan tentang “perang itu adalah siasat”, seperti berikut:



الْحَرْبُ خُدْعَةٌ. (رواه البخارى وغيرهما عن جابربن عبدالله)
Artinya: ”Perang itu adalah siasat". (Hadis riwayat al Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Jabir bin ‘abdullah)
Pemahaman  terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal serta tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.[2]
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. (رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن ابن عمر بلفظ مسلم)
Artinya: setiap (minuman) yang memabukkan adalah khamar dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram. (hadis riwayat al Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat muslim)
Hadis tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khamar tidak terkait oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya dengan kebijaksaan dakwah, dispensasi kepada orang-orang tertentu yang dibolehkan untuk sementara waktu meminum khamar memang ada sebagaimana yang dapat dari proses keharaman khamar dalam al Qur’an. Dispensasi itu untuk masa sekarang diterapkan, misalnya, pada orang yang baru saja memeluk Islam, sedang dia selama sebelum memeluk Islam telah biasa meminum khamar. Dia diperkenankan untuk tidak sekaligus pada saat memeluk Islam menghentikan kebiasaannya itu; dia diperkenankan untuk secara bertahap, tetapi pasti, berusaha menghentikan kebiasaannya meminum khamar.[3]


2.      Pemahaman Hadis secara Kontekstual
Kata  “kontekstual”,  secara  kebahasaan, berasal  dari  kata “konteks”  yang  secara  rinci  mengandung  dua  arti:  1)  bagian sesuatu  uraian  atau  kalimat  yang  dapat  mendukung  atau menambah  kejelasan  makna;  2)  situasi  yang  ada  hubungan dengan  suatu  kejadian.  Kedua  arti  itu  dapat  digunakan  untuk memahami hadis.
Sebagaimana halnya al-Quran yang ayat-ayatnya turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa (baik berupa kasus atau pernyataan sahabat) atau situasi tertentu yang lazim disebut dengan asbȃb al-nuzȗl, begitu juga halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Di antaranya ada yang muncul dengan dilatar- belakangi oleh suatu peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut asbab wurȗd al-hadȋs, yang dalam tulisan ini disebut dengan konteks.
Memahami hadis dengan pendekatan tekstual ternyata tak selamanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di tengah masyarakat, sehingga memunculkan kesan bahwa sebagian hadis Rasulullah Saw. terkesan tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan dan tak mampu mewakili pesan yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.[4]
Pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang dimaksud di sini adalah memahami hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut atau dengan perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
Hadis-hadis Nabi SAW. Sebagai mitra Al Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat memberi inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al Qur’an dan al Hadis.
Dalam tulisan ini, pemakalah mencoba untuk memberikan tawaran baru bagaimana cara melakukan fiqhul hadis (pemahaman hadis) dengan pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-masing.

B.     Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadits
1.      Pendekatan Historis, Sosiologi dan Antropologis
Pendekatan historis menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi SAW bersabda demikian? dan Bagaimana kondisi politik saat itu?, serta mengamati proses terjadinya. Adapun pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan ruang dan waktu.[5]
2.      Aplikasi Pemahaman Hadis Pendekatan Historis, Sosiologi dan Antropologis
a.       Hadis tentang larangan wanita berpergian sendirian
قل النبي صلى الله عليه وسلم: لا تسافر امرأة إلاومعها محرم.
“tidak dibolehkan seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram bersamanya.” (H.R. Al bukhori  dan Muslim)

Menurut karangan Said Aqil Husin Munawwar, hadis tersebut tidak mempunyai asbabul wurud khusus. Sementara, jika kita kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat saat itu dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran Nabi SAW akan keselamatan perempuan, jika dia berpergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Mengingat pada masa itu, ketika seorang berpergian biasa menggunakan kendaraan Onta, bighal, (sejenis kuda) maupun keledai dalam perjalanannya. Mereka sering kali harus mengarungi padang pasir yang sangat luas, daerah-daerah yang jauh dengan manusia. Di samping itu, wanita dianggap tabu atau kurang etis jika berpergian sendirian.[6]   
Oleh sebab itu jika kondisi sekarang masyarakat sudah berubah, di mana jarak yang jauh sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan adanya sistem keamanan yang menjamin keselamatan wanita berpergian, maka sah-sah saja wanita pergi sendirian untuk menuntut ilmu, menunaikan haji, bekerja dan lain sebagainya.
Dengan demikian, disini perlu reinterpretasi baru mengenai konsep mahram. Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person akan tetapi sistem keamanan yang menjamin keselamatan bagi kaum wanita itu. Pemahaman semacam ini tampaknya akan lebih kontekstual, apresiasip dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga kita tidak hanya terpaku dan terjebak oleh bunyi teks hadis yang kadang cenderung bersifat kultural, temporal dan lokal.
Pemahaman yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis dan antropologis cenderung lebih lentur dan kenyal dan elastis. Namun kemudian hal ini, tidak berarti kita harus kehilangan ruh semangat nilai yang terkandung dalam hadis tersebut.
Kontekstualisasi pemahaman hadis tersebut di atas, didukung oleh data yang falid dari kandungan hadis yang marfu’ (sampai Rasulullah) yang diriwayatkan al Bukhari dari “Ady bin Hatim, sebagai berikut :
قل النبي صلى الله عليه وسلم: يوشك أن تخرج الظعينة تقدم البيت (الكعبة) لازوج معها.
“Akan datang masanya, seorang perempuan penunggang onta pergi dari kota (Hirah) menuju Ka’bah tanpa seorang suami bersamanya.” (HR. Al Bukhari)
Hadis tersebut sesungguhnya memberikan prediksi tentang datangnya masa kejayaan Islam dan keamanan di seantero dunia dan sekaligus juga menunjukkan dibolehkannya wanita berpergian tanpa suami atau mahram.[7]
Dapat di pahami pula menurut jurnal Liliek Channa , Illah  larangan hadis  tersebut  adalah  kekhawatiran  akan  terjadi  sesuatu  atasnya atau  menimbulkan  fitnah,  karena  bepergian  pada  waktu  itu adalah dengan onta atau keledai, menempuh gurun dan belantara atau  jalan  yang  sepi.  Jika  kekhawatiran  diletakkan  dalam  realitas sosial  budaya  kekinian,  di  mana  perjalanan  dapat  dilakukan dengan  pesawat  yang  memuat  100  orang  atau  lebih  penumpang, atau  naik  kereta  yang  berisi  ratusan  penumpang  dalam  suasana yang  ramai,  maka  kekhawatiran  itu dalam  beberapa  kondisi  tidak signifikan  lagi.  Karena  itu,  beberapa  ulama  membolehkan seorang perempuan tanpa suami atau mahram pergi haji bersama rombongan  perempuan  lain  yang  terpercaya  atau  bersama perempuan lain yang aman.[8]
Di dalam jurnal Liliek Channa Aw, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual.  Rasul  sangat  memperhatikan  situasi  dan  kondisi  sosial budaya  serta  alam  lingkungan.  Itu  sebabnya  ditemukan  dalam ruang  dan  waktu  tertentu  Rasul  melarang  suatu  perbuatan,  tapi pada  ruang  dan  waktu  yang  lain,  Rasul  menganjurkan  perbuatan tersebut,  atau  memberikan  respons  yang  berbeda  terhadap persoalan  yang  sama  dari  dua  sahabat  yang  berbeda.  Sebagai contoh diantaranya:
1.      Tentang  ziarah  kubur,  ketika  akidah  umat  dipandang  belum begitu  kuat,  Nabi  melakukan  pelarangan  atas  ziarah  kubur, tetapi ketika akidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian dicabut.
2.      Tentang  etika  buang  hajat,  ketika  berada  di  lapangan  terbuka Rasul  melarang  buang  hajat  menghadap  atau  membelakangi kiblat  karena  dikhawatirkan  akan  terlihat  oleh  orang  yang sedang  shalat,  tetapi  ketika  di  dalam  ruangan  yang  relatif tertutup  Rasul  sendiri  terlihat  membuang  hajat,  menghadap atau membelangi kiblat.
Dengan  demikian,  Rasul  sangat  mempertimbangkan  situasi sosial  budaya  masyarakat  dan  alam  lingkungan.  Sikap  Nabi yang seperti  itu  mengisyaratkan  akan  adanya  pendekatan  kontekstual atas hadisnya.
Pemahaman atas hadis  dengan  pendekatan  tekstual,  hukum yang  dihasilkan  adalah  hukum  nâsikh  dan  mansûkh,  artinya  teks yang  terdahulu  sudah  tidak  berlaku  dan  digantikan  teks  yang datang  kemudian.  Hadis  tentang  larangan  ziarah  kubur,  dan larangan  buang  hajat  menghadap  atau  membelakangi  kiblat, sudah  dimansûkh  (hapus/tidak  berlaku  lagi  hukumnya).  Tetapi,  jika  memperhatikan  suasana  psikologis,  siapa  saja  yang akidahnya  masih  lemah  dan  musyrik  karena  ziarah  kubur,  maka hadis  pertama  (larangan  ziarah  kubur)  tetap  berlaku  baginya. Demikian  juga  hadis  tentang  etika  buang  hajat,  jika memperhatikan  alam  lingkungan  (di  tempat  terbuka),  maka menghadap atau membelakangi kiblat tetap dilarang.[9] 
b.      Konteks- Redaksional
Dalam  konteks-redaksional,  terdapat  beberapa  hal  yang  perlu diperhatikan  untuk  menentukan  apakah  harus  dipahami  secara tekstual ataukah kontekstual, antara lain:
1)      Kata-Kata Metaforis (Majâz)
Hadis  sebagai  pesan-pesan  keagamaan  disampaikan  dalam bahasa  agama.  Artinya,  sebagai  sebuah  bahasa  keagamaan  tentu sedikit  tidaknya  berbeda  dengan  bahasa  ilmiah  atau  bahasa umum.  Salah  satu  ciri  yang  paling  menonjol  dalam  bahasa keagamaan  adalah  seringnya  pemakaian  bahasa  metaforis.  Hal itu agaknya tak dapat dihindari karena untuk membahasakan dan mengekspresikan  tentang  Tuhan  dan  objek  yang  abstrak,  sudah semestinya  menggunakan  ungkapan  yang  familiar  dengan  dunia indrawi,  yaitu  dengan  bahasa  kiasan  dan  simbol-simbol.  Bahasa metaforis,  seperti  ungkapan  Komaruddin  Hidayat dalam karangan Liliek Channa, memiliki kekuatan yang bisa  mempertemukan  antara  ikatan  emosional dan  pemahaman  kognitif  sehingga  seseorang  dimungkinkan untuk  mampu  melihat  dan  merasakan  sesuatu  yang  berada  jauh di belakang ucapan itu sendiri.[10]
Bahasa  metaforis  atau  majâz  dalam  bahasa  Arab diungkapkan  sebagai  kata  yang  dipakai  bukan  pada  makna  yang diperuntukkan  baginya  (bukan  makna  aslinya)  karena  adanya korelasi  (‘alaqah)  diikuti  dengan  tanda-tanda  yang  mencegah penggunaan  makna  asli  tersebut. Jadi,  pengalihan  makna  hakiki kepada  majazi  dilakukan  karena  adanya  ‘alaqah  dan  qarînah (tanda-tanda) yang menghalangi pemakaian makna asli tersebut.[11]
Pemakaian  bahasa  metaforis  dalam  hadis  tidak  hanya terbatas  pada  hadis  yang  bersifat  informatif,  tetapi  juga  pada hadis-hadis  yang  mengandung  muatan  hukum  (hadis-hadis hukum).  Dengan  demikian,  memahami  suatu  perkataan  sebagai majâz,  kadang  kala  menjadi  suatu  keharusan,  sebab  jika  tidak demikian  seseorang  akan  keliru  menyimpulkan  sebuah  tujuan yang  dimaksudkan  hadis.  Sebagai  contoh,  hadis  yang menyatakan:  “Neraka  mengadu  kepada  Tuhannya:  Ya  Tuhanku sebagianku  memakan  sebagian  yang  lainnya.  Maka  Allah mengizinkan  baginya  untuk  menjadi  dua  bagian;  sebagian  di musim  dingin  dan  sebagian  di  musim  panas,  yaitu  panas  yang paling  menyengat  dan  dingin  yang  paling  menyengat  pula.” Hadis  tersebut,  haruslah  dipahami  dengan  pemahaman  makna majâzi  dan  ilustrasi  seni  yang  menggambarkan  panas  yang  amat sangat,  sebagai  salah  satu  bagian  dari  tubuh  neraka  jahanam, sebagaimana  ia  juga  menggambarkan  dingin  yang  amat  sangat sebagai  bagian  lainnya  dari  neraka  jahanam  tersebut.  Dengan kata  lain,  ungkapan  “sebagian  di  musim  dingin  dan  sebagian  di musim  panas”  adalah  ungkapan  majâz  dengan  makna  majazi pula,  yakni  siksaan  neraka  jahanam  mempunyai  bentuk  azab yang sangat panas dan yang amat dingin.[12]
Contoh lain, ketika Nabi bersabda: “Orang yang paling cepat menyusulku  adalah  orang  yang  paling  panjang  tangannya  di antara  kalian”. Mendengar ucapan Rasul, para istrinya ada yang memahaminya  secara  hakiki,  yaitu  tangan  yang  panjang.  Melihat fenomena itu Aisyah berkomentar, mereka (para isteri Nabi yang lain)  saling  memanjangkan  tangannya  guna  mengetahui  siapa  di antara  mereka  yang  paling  panjang  tangannya  guna  mengetahui siapa di antara mereka yang cepat menyusul Rasul. Rasul tidaklah bermaksud  demikian,  “panjang  tangan”  yang  dimaksud  adalah dalam  makna  kiasan,  yakni  orang  yang  tinggi  etos  kerjanya (banyak  melakukan  kebaikan). Dalam  hal  ini,  ternyata  isteri  Nabi yang  paling  pertama  menyusul  adalah  Zainab  binti  Jahsy, seorang  wanita  yang  kreatif,  banyak  berkarya,  dan  suka bersedekah.[13]
Hadis  yang  diucapkan  Nabi  relevan  dengan  ruang  dan waktu,  baik  itu  dari  segi  sosial  budaya  maupun  alam  lingkungan. Pemahaman sebuah kata pun haruslah dalam waktu dan ruang di mana  hadis  itu  diucapkan,  meskipun  kata  itu  dalam  ruang  dan waktu  pembaca  atau  penafsir  sering  dipakai  dengan  makna  yang lebih  luas.  Artinya  sebuah  kata  tidak  diberi  muatan  makna  yang terlalu  jauh  melampaui  masanya.  Sebagai  contoh,  kata  tashwîr yang  disebut  dalam  hadis,  tidaklah  dapat  diberi  makna  dengan gambar  hasil  pemotretan.  Kata  itu  lebih  tepat  diartikan  hanya sebatas  karya  lukisan  atau  pahatan.  Sebab  kata  tersebut  dalam konteks  masyarakat  Arab  awal,  pemotretan  belum  ada  bahkan belum  terlintas  di  benak  mereka.  Kalaupun  kata  tashwîr  atau shûrah  untuk  konteks  sekarang  juga  bermakna  hasil  karya fotografi, hal itu tak lain adalah perkembangan makna kata.[14]
2)      Tujuan atau Maksud (Hadf) dari Hadis
Analisis  konteks-redaksional  akan  memberikan  perspektif baru  tentang  semangat  memahami  teks  secara  keseluruhan  yang pada  gilirannya  akan  memberikan  pemahaman  tentang  maksud atau  tujuan  (hadf)  yang  terkandung  dalam  sebuah  hadis.  Untuk itu,  harus  melakukan  pemahaman  yang  bersifat  filososfis,  yakni menarik  tujuan  atau  maksud  sebuah  ucapan  Rasul.  Maksud  atau tujuan  yang  diinginkan  dengan  media  haruslah  dibedakan dengan  jelas.  Hal  itu  disebabkan  karena  tujuan  atau  maksud merupakan  realitas  yang  bersifat  statis  dan  universal,  tetapi media  senantiasa  berkembang  dan  terus  berkembang  artinya sifatnya  temporal.  Karena  itu,  yang  harus  dijadikan  pegangan adalah  “tujuan”  dan  “maksud”  (maqâshîd  al-syarî‛ah)  yang dikandung  sebuah  hadis,  karena  media  merupakan  pendukung bagi tercapainya sebuah maksud.[15]
Sebagai contoh: (1) Rasul mengatakan: “siwak itu membersihkan  mulut  dan  menjadikan  Allah  ridha.”  Tujuan  atau maksud  dari  hadis  itu  sebenarnya  adalah  membersihkan  mulut sehingga  Allah  menjadi  ridha  karena  kebersihan  itu.  Sedangkan siwak  merupakan  media  untuk  mencuci  mulut.  Penyebutan oleh  Rasul,  menurut  Yusuf  al-Qardhawi, dalam karangan Liliek Channa, karena  siwak  cocok  dan mudah  didapat  di  jazirah  Arab.  Karena  itu,  siwak  dapat  diganti dengan  barang  lain,  seperti  odol  dan  sikat  gigi  yang  kedudukannya  sama  dengan  siwak.  (2)  Demikian  pula  ru‟yah  alhilâl  untuk  menetapkan  ramadhan.  Zhahîr  hadis  menentukan bahwa  harus melihat  bulan untuk menentukan  puasa Ramadhan. Melihat  bulan  merupakan  media  untuk  sampai  pada  penetapan Ramadhan.  Pada  saat  itu  melihat  bulan  dengan  mata  telanjang adalah  cara  yang  paling  mudah.  Tetapi  kemudian  teknologi menawarkan  media  yang  lebih  mudah  dan  akurat.  Karena  itu, media  melihat  bulan  dengan  mata  telanjang  bukan  lagi merupakan  suatu  keharusan  disebabkan  ada  media  lain  yang lebih mudah dan akurat.[16]
3)      Kata-Kata Asing (Gharîb)
Kenyataan  lain  yang  perlu  menjadi  perhatian  pada  konteks redaksional adalah adanya  kata-kata asing (gharîb),  baik disebabkan  oleh kata itu sendiri yang teradopsi ke dalam penuturan hadis  ataupun  kata biasa  yang dalam konteks redaksional hadis  itu sendiri  terasa  sulit dipahami seperti maknanya  yang  umum  dikenali.  Para  sahabat  ketika  menemukan teks-teks  hadis  yang  bersifat  gharîb,  mereka  berijtihad  untuk mengungkapkan  maknanya  dengan  merujuk  pada  ucapan  dan syair-syair  kuno.  Dengan  demikian,  ilmu  gharîb  al-hadîts  memiliki peran  yang  sangat  penting.  Sebagai  contoh,  dalam  salah  satu hadis Rasul mengatakan  bahwa  barang  siapa  yang  berpuasa  pada bulan  ramadhan  dan  melaksanakannya  dengan  penuh  keimanan dan  ihtisâban,  akan  diampuni  dosa-dosanya  yang  telah  lalu.  Lafaz ihtisâban  adalah  lafaz  gharîb.  Pada  umumnya  orang  memahami makna  kata  tersebut  dengan  arti  “penuh  pertimbangan.”  Akan tetapi  yang  dimaksud  dengan  lafaz  tersebut  adalah  ikhlas.[17] Dengan  demikian,  memahami  ilmu  gharîb  al-hadîts  merupakan salah satu upaya dalam memahami hadis secara kontekstual.
c.       Batas-Batas Tekstual dan Kontekstual Hadis
Secara  umum  M.  Sa‛ad  Ibrahim yang dikutip Liliek Channa,  menjelaskan  bahwa  batasan kontekstual meliputi dua hal, yaitu:
1)      Dalam  bidang  ibadah  mahdlah  (murni)  tidak  ada  atau  tidak  perlu  pemahaman  kontekstual.  Jika  ada  penambahan  dan pengurangan  untuk  penyesuaian  terhadap  situasi  dan  kondisi, maka hal tersebut adalah bid`ah.
2)      Bidang  di  luar  ibadah  murni  (ghayr  mahdlah).  Pemahaman kontekstual  perlu  dilakukan  dengan  tetap  berpegang  pada moral  ideal  nas,  untuk  selanjutnya  dirumuskan  legal  spesifik baru  yang  menggantikan  legal  spesifik  lamanya. Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
a)      Ide  moral/ide  dasar/tujuan  di  balik  teks  (tersirat).  Ide  itu ditentukan  dari  makna  yang  tersirat  di  balik  teks  yang sifatnya universal, lintas ruang waktu, dan intersubjektif.
b)      Bersifat absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.
c)      Mempunyai  visi  keadilan,  kesetaraan,  demokrasi, mu’âsyarah bi al-ma‟rûf.
d)     Terkait  relasi  antara  manusia  dan  tuhan  yang  bersifat universal  artinya  segala  sesuatu  yang  dapat  dilakukan siapapun,  kapan  pun  dan  di  mana  pun  tanpa  terpengaruh oleh  letak  geografis,  budaya  dan  historis  tertentu. Misalnya  “shalat”,  dimensi  tekstualnya  terletak  pada keharusan  seorang  hamba  untuk  melakukannya (berkomunikasi,  menyembah  atau  beribadah)  dalam kondisi  apapun  selama  hayatnya.  Namun  memasuki ranah  “bagaimana  cara  muslim  melakukan  shalat”  sangat tergantung pada konteks si pelakunya.
Berdasarkan  penjelasan  di  atas  dapat  dipahami,  mengapa  untuk  ibadah  murni  (mahdlah)  tidak  perlu  dipahami  secara  tekstual.  Menurut  analisa  Liliek Channa,  di  sinilah  peran  Muhammad sebagai  Rasulullah,  beliau  punya  otoritas  penuh  tanpa  campur tangan  ra‟yu  manusia,  dan  itulah  yang  dimaksud  firman  Allah: ‛‛Dan  tidaklah  yang  diucapkannya  itu  menurut  hawa  nafsunya. Ucapannya  itu  tiada  lain  hanyalah  wahyu  yang  diwahyukan kepadanya.”[18]
Sedangkan  di  luar  ibadah  murni  (ghayr  mahdlah)  diperlukan  pemahaman  secara  kontekstual  dengan  tetap  berpegang  pada moral  ideal  atau  nas  mengingat  Muhammad  saw.  itu  sebagai Rasulullah  di  akhir  zaman  sehingga  syari’atnya  berlaku  untuk kapan  dan  di  mana  saja.  Di  samping  itu  perlu  dipahami  pula, bagaimana  posisi  hadis  disampaikan.  Apakah  Muhammad  saw. dalam  posisi  sebagai  qadlî  (hakim),  pemimpin  negara  atau manusia biasa. Hal itu dapat dilihat pula, apa yang dilakukan oleh sebagian  sahabat  terhadap  hadis  “jangan  kamu  shalat  ashar, kecuali  di  perkampungan  Banî  Quraydhah,”  sebagaimana penjelasan yang lalu.[19]




d.      Langkah-langkah Kontekstual Hadis
Bertolak  dari  dasar-dasar  dan  batasan-batasan  kontekstual tersebut  di  atas  maka  langkah-langkah  pemahaman  kontekstual dapat dilakukan sebagai berikut
1)      Memahami  teks-teks  hadis  atau  sunnah  untuk  menemukan dan  mengidentifikasi  legal  spesifik  dan  moral  ideal  dengan cara  melihat  konteks  lingkungan  awalnya  yaitu:  Mekah, Madinah, dan sekitarnya.
2)      Memahami  lingkungan  baru  di  mana  teks-teks  akan diaplikasikan,  sekaligus  membandingkan  dengan  lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan persamaannya.
3)      Jika  ternyata  perbedaannya  lebih  esensial  dari  persamaannya maka  dilakukan  penyesuaian  pada  legal  spesifik  teks-teks tersebut  dengan  konteks  lingkungan  baru,  dengan  tetap berpegang  pada  moral  idealnya.  Namun  jika  ternyata sebaliknya,  maka  nas-nas  tersebut  diaplikasikan  dengan  tanpa adanya penyesuaian.[20]
Langkah-langkah itu perlu ditaati sebagai rambu-rambu, agar tidak sampai terjadi penafsiran liar, yang pada akhirnya hadis bisa dibawa  kemana  angin  bertiup,  artinya  mengikuti  kepentingan manusia yang bersumber dari hawa nafsu.






III.             PENUTUP

A.    Simpulan
Bahwa ternyata ada matan hadis Nabi yang kandungan petunjuknya harus dipahami secara tekstual saja dan karenaya, tidak di perlukan pemahaman secara kontekstual.
Perlunya pemahaman hadis dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis untuk menemukan pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, dinamis, akomodatif, dan apresiatif terhadap perubahan serta perkembangan zaman, sekaligus pendekatan tersebut sebagai pisau analisis dalam memahami hadis-hadis yang tidak memiliki asbabul wurud secara khusus.
Namun demikian, bukan berarti pendekatan-pendekatan tersebut tanpa kelemahan. Ia mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain adanya kesan ingin mencocokkan hadis dengan kondisi perubahan masyarakat dan kondisi zaman, sehingga kita kadang terjebak pada pemahaman yang terlalu dipaksakan. Untuk itu, diperlukan kecermatan dalam penggunaan pendekatan tersebut. Dan pada akhirnya, bagaimanapun upaya semacam itu merupakan konstrusi manusia yang kebenaranya relatif dan masih bisa diperdebatkan. Waallahu a’lam bi ash-shawab.




DAFTAR PUSTAKA


Liliek Channa Aw, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual (ULUMUNA Jurnal Studi Keislaman, volume xv, nomer 2, desember 2011)
Maizudin, Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2001)
Said Aqil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (telaah ma’ani al hadits tentang ajaran Islam yang universal, temporal, dan lokal. (PT. Bulan Bintang, 1994)
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001M),



[1] Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001M), h.916
[2] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (telaah ma’ani al hadits tentang ajaran Islam yang universal, temporal, dan lokal. (PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 11

[3] Ibid. Hlm. 12
[4] Maizudin, Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2001), h. 115
[5] Said Aqil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 27
[6] Ibid, hlm. 30
[7]  Ibid, hlm 32
[8] Liliek Channa Aw, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual (ULUMUNA Jurnal Studi Keislaman, volume xv, nomer 2, desember 2011) hlm. 401
[9] Ibid . hlm. 400
[10] Ibid, hlm. 402
[11]  Ibid, hlm. 403
[12] Ibid, hlm. 403-404
[13] Ibid, hlm. 404
[14] Ibid,
[15] Ibid, hlm. 404-405
[16] Ibid, hlm. 405
[17] Ibid, hlm. 406
[18] QS, An Najm (53): ayat 4-5.
 إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤  عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ ٥
[19] Ibid, hlm. 410-411
[20] Ibid, hlm. 411-412

Tidak ada komentar:

Posting Komentar