Jumat, 03 Juni 2016

TASAWUF DAN TANTANGAN MODERNITAS


MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas :
Mata kuliah                    :           Pendidikan Spiritual dan Akhlaq
Dosen Pengampu           :           Dr. K.H. Chusnan bin Djaenuri, M. A




preview_html_3aaf7fa1
 













Oleh:
MUHAMMAD ZULQORNEIN
2052115064


PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016
I.                   PENDAHULUAN

Tasawuf adalah bagian dari syariat Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syariat. Maka Abu Yazid al-Busthami mengatakan, sebagaimana dinukilkan oleh al-Qusyairi (1950-103), kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap syariat Islam.[1]
Ajaran  tasawuf  sering  dianggap  “berseberangan”  dengan nilai-nilai  hidup  masyarakat  modern  yang  lebih  banyak bermuatan  glamor,  pemujaan  materi,  persaingan  keras  yang dipenuhi intrik dan tipu daya, keserakahan, cinta dunia, dan lain-lain.  Sementara  kemasan  tasawuf  sebagai  aspek  ajaran  Islam lebih  menekankan  pada  kerendahan  hati,  kehidupan  yang sederhana, zuhud terhadap dunia, cinta sejati tanpa pamrih, dan lain-lain yang seakan-akan hanya cocok untuk diaplikasikan pada pola hidup tradisional.[2]
Inilah salah satu tantangan yang dihadapi agama Islam yang di  dalamnya  bersemayam  tasawuf.  Sebagai  sisi  empirisitas keberagamaan  Islam,  tasawuf  dituntut  peran  aktifnya  secara konstruktif-solutif  terhadap  kemiskinan  spiritualitas  manusia modern  yang  secara  realitas  sangat  berbeda  dengan  setting maupun  struktur  masyarakat  pada  saat  tasawuf  ”dilahirkan”. Berbagai anomali pada sisi empirisitas keberagamaan merupakan kemestian, karena betapapun idealnya suatu konsep, pada suatu saat  akan  mengalami   keusangan  dan  sampai  pada  batas kedaluwarsa.[3] Dalam  konteks  inilah  penataan  ulang  terhadap metodologi  pengkajian  tasawuf  diperlukan  dalam  rangka mendinamisasikan  dengan  realitas  kekinian  sehingga  mampu menjawab problem spiritualitas masyarakat modern.[4]
II.                PEMBAHASAN

A.    Manusia di Era Modern
Manusia  modern  mengalami  kehampaan  spiritual, kehampaan makna dan legitimasi hidup serta kehilangan visi dan mengalami  keterasingan  (alienasi). Menurut  SH.  Nasr dalam jurnal karangan Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim,  krisis eksistensial  yang  dialami  manusia  modern  akibat  pandangan kosmologi  modern  yang  bersifat  positivistik-antroposentris. Sedangkan  menurut  Weber,  kalkulabilitas  rasional  kehidupan modern  menciptakan  bukan  kebebasan  melainkan  “sangkar besi” yang menurut Alvin Gouldner dikatakan sebagai penderitaan metafisis. Weber menyebut kondisi masyarakat dunia modern sebagai kekecewaan dunia dalam arti tidak lagi terkurung dalam sebuah  dunia  suci  dengan  kekuatan  magis  dan  gaib  tapi kemajuan  teknologi  yang  bersifat  positivistik. Mereka kehilangan  harapan  akan  kebahagiaan  masa  depan  seperti  yang dijanjikan  oleh  renaissance,  aufklarung,  sekularisme,  sains,  dan teknologi.[5]
Lebih  lanjut  Seyyed  Hossein  Nasr  mengatakan  bahwa berbagai   krisis  yang  melanda  manusia  modern  seperti  krisis ekologi,  epistemologi  bahkan  krisis  eksistensial  berawal  dari pemberontakan  manusia  modern  terhadap  Tuhan.  Sehingga sains  diciptakan  hanya  berdasarkan  kekuatan  akal  saja  tanpa cahaya  intelek. Untuk  keluar  dari  krisis  tersebut  Nasr menawarkan jalan untuk kembali kepada pesan dasar Islam yaitu seruan  kepada  manusia  untuk  menyadari  siapakah  manusia sebenarnya  dan  untuk  menyadari  percikan  api  keabadian  yang terdapat di dalam dirinya sendiri (fitrah). [6]
Kondisi  ini  menimbulkan  usaha  pencarian  paradigma  baru tentang  makna  hidup  dan  pemenuhan  diri  yang  sarat  dengan spiritualitas  yang  diharapkan  mampu  mengobati  derita  alienasi. Dalam  Islam,  untuk  membebaskan  manusia  dari  derita  alienasi adalah  dengan  menjadikan  Tuhan  sebagai  tujuan  akhir  (ultimate goal)  karena Tuhan Maha Wujud  (omnipresent)  dan Maha  Absolut. Segala eksistensi yang relatif tidak akan berarti di hadapan Yang Absolut.  Kayakinan  dan  perasaan  seperti  itu  akan  memberi kekuatan,  kendali,  dan  kedamaian  jiwa  sehingga  manusia senantiasa merasa berada dalam ”orbit” Tuhan.[7]
B.     Dialog Tasawuf dan Modernitas
Tasawuf  dalam  Islam  merupakan  gejala  yang  tidak  mudah untuk  diidentifikasi,  terlebih  lagi  jika  memasuki  wilayah  yang disebut  mystical  experience. Tasawuf  sering  diidentikkan  dengan Islamic  Mysticism   sebagaimana dikenal dunia Barat. Secara etimologi  kata  mystic  berasal  dari  bahasa  Yunani,  myein,  yang  berarti menutup  mata  dan  terlindung  di  dalam  rahasia.  Dalam pengertian  ini  tersirat  adanya  suasana  kekudusan  dan kekhususan dalam upaya menangkap rahasia Yang Maha Agung melalui  disiplin  spiritual  yang  keras  dan  sungguh-sungguh. Tasawuf  bersifat  misterius  karena  pada  dasarnya  seorang  sufi adalah orang yang sedang memasuki wilayah misteri yang setelah melalui berbagai proses pentahapan (maqâmât)  mampu mencapai pengetahuan esoterik tentang ketuhanan (divine) yang absolut dan akhirnya  mengalami  “reborn into  eternity”  terlahir  kembali  dalam keabadian.[8]
Mistisisme  adalah  suatu  ajaran  atau  kepercayaan  bahwa pengetahuan  tentang  hakikat  Tuhan  bisa  didapatkan  melalui meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal  dan  pancaindra. Dengan  kata  lain  tasawuf  merupakan bentuk  pengalaman  spiritualitas  seseorang  yang  lebih menekankan pada “rasa” daripada “rasio”, bahkan sering disebut ilmu  rasa  (dzawq), karena  faktor  rasa  lebih  dominan  daripada rasio.  Ketidakberpihakan  tasawuf  pada  rasio  berbeda  dengan ilmu-ilmu  keislaman  lainnya,  sehingga  tasawuf  tidak  mudah dikaji hanya dengan menggunakan upaya nalar dan intelektual.[9]
Lebih mendalami arti tasawuf, yakni suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggikan, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepadanya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi di kutip dalam buku karangan Amin Syukur, bahwa semua tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah tasawuf.[10]
Berbeda  dengan  kehidupan  modern  yang  menggunakan paradigma positivisme dan hanya menganggap real benda-benda yang bisa diamati secara positif (indrawi). Apapun yang bukan indrawi—tidak  bisa  diobservasi—harus  ditolak  sebagai  ilusi. Pandangan positivisme inilah yang kemudian menjadi paradigma sains.  Akibatnya  sains  telah  tersekulerkan.  Dan  ini  berarti pembatasan  lingkup  sains  hanya  pada  bidang-bidang  yang  bisa diobservasi dan metodenya bertumpu pada metode ilmiah yang berwatak empiris dan rasional.[11]
Dalam  masyarakat  modern,  terdapat  asumsi  bahwa  agama merupakan   kendala  modernisasi.  Menurut  Donald  Eugene Smith  dunia  tanpa  terkecuali  mengalami  The  Grand  Process  of Modernization  dalam  arti  bahwa  proses  sekularisasi  itu  pasti terjadi. Persepsi  dan  apresiasi  tentang  Tuhan  tidak  lagi mendapat tempat terhormat. Dalam ungkapan Peter L. Berger, "nilai-nilai  supernatural  telah  lenyap  dalam  dunia  modern". Bahkan  secara  dramatis  dirumuskan  oleh  filosof  Jerman Friederich  Nietzsche  bahwa  "Tuhan  telah  mati". Karena  itu, manusia tidak perlu lagi mencari perlindungan dan jawaban atas pertanyaan  dari  agama  melainkan  dari  kemajuan  ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses inilah yang oleh Harvey Cox disebut sekularisasi.[12]
Dengan  hilangnya  batasan-batasan  yang  dianggap  dan diyakini  sebagai  sakral  atau  absolut,  manusia  modern  lalu melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif, terutama sistem nilai dan moralitas yang dibangunnya. Hal ini juga dialami oleh orang  Islam  yang  sedikit  banyak  telah  terpengaruh  oleh kehidupan  modern  di  dalam  medan  polarisasi  di  antara  dua macam pandangan dan sistem nilai yang bertentangan.[13]
Pada satu sisi, nilai-nilai Islam merupakan sebuah pesan dan petunjuk  bagi  manusia  yakni  sebuah  Weltanschaung  yang berdasarkan  pandangan  bahwa  manusia  sebagai  khalifah  Allah sekaligus  hamba  yang  sempurna  serta  menaati  setiap  perintahNya.  Pada  sisi  lain,  orang  Islam  menyaksikan  bahwa  hampir semua  asumsi  dasar  dari  peradaban  Barat  modern  merupakan antitesa dari prinsip-prinsip Islam yang mulia itu. Ia menyaksikan betapa alam semesta direndahkan menjadi satu level realitas saja, sedangkan  dan  level-level  realitas  yang  lebih  tinggi  (Tuhan) dianggap  omong  kosong  belaka.  Betapa  kekuasaan  manusia sebagai pemimpin di muka bumi sedemikian ditekankan dengan mengorbankan  penghambaannya  kepada  Allah,  sehingga manusia  tidak  dipandang  sebagai  khalifah  Allah  lagi,  tetapi sebagai khalifah egonya sendiri, khalifah dari kekuatan  duniawi, konsumen  modern. Sifat  hakiki  manusia,  theomorphisme, disangkal  secara  terang-terangan. Sifat  yang  dinyatakan  alQur'an sebagai al-fithrah[14] telah ditinggalkan.[15]
Akibat  pandangan  dunia  yang  distorsif,  sains  modern  tidak lagi  mengkaji  alam  sebagai  “tanda-tanda”  Allah  melainkan sebagai  realitas  independen  yang  dilepaskan  dari  hubungan apapun  dengan  Allah.  Akibatnya,  keyakinan  sains  yang  bisa menyibakkan  realitas  sejati  (al-Haqq)  sehingga  bisa  menambahkeyakinan  manusia,  tidak  terpenuhi  tetapi  justru  cenderung mengingkari-Nya.[16]
Dalam  al-Qur‟an  Allah  menjelaskan  diri-Nya  sebagai  Yang Lahir  dan  Yang  Batin.[17] Dunia  dan  isinya  adalah  pancaran  dan alamat dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, semua realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin. Demikian juga kehidupan manusia. Kehidupan lahir memang tidak sia-sia, namun berpuas diri  semata-mata  dengan  masalah  lahiriah  merupakan pengingkaran  terhadap  kodrat  manusia  yang  sebenarnya,  yakni dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melakukan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.[18]
Tasawuf  menjadi  urgen  bagi  masyarakat  modern  karena tasawuf  bisa  berfungsi  sebagai  alat  pengendali  dan  pengontrol manusia  agar  dimensi  kemanusiaannya  tidak  tereduksi  oleh modernisasi  yang  mengarah  pada  anomali  nilai-nilai  sehingga akan mengantarkan manusia pada tercapainya keunggulan moral. Di samping itu, signifikansi dan relevansi tasawuf bagi problema masyarakat  modern  karena  tasawuf  secara  seimbang  bisa memberikan  kesejukan  batin  dan  disiplin  syari’ah  sekaligus. Melalui  pendekatan  tasawuf  akhlâqî  bisa  dipahami  sebagai pembentuk  tingkah  laku,  sedangkan  melalui  tasawuf  falsafi  bisa memuaskan  dahaga  intelektual  sesuai  dengan  kecenderungan rasional masyarakat modern.[19]
C.    Paradigma Baru Spiritualitas Masa Depan
Keterkaitan  manusia  modern  pada  dunia  spiritual  karena ingin  mencari  keseimbangan  baru  dalam  hidup.  Hal  ini  bisa dicapai  melalui  transendensi  diri,  artinya  kehidupan  ini  tidak hanya berhenti pada realitas profan dalam konteks keterbatasan ruang  dan  waktu,  tetapi  ditransendensikan  pada  realitas  yang mutlak (ultimate reality).[20]
Mengisi  hidup  dengan  muatan  spiritual  bisa  menjadi paradigma  baru  bagi  manusia  di  masa  mendatang.  Namun  di balik optimisme tersebut muncul pertanyaan tentang metodologi pengkajian  tasawuf  yang  bagaimana  yang  mampu  menyangga kebutuhan spiritualitas manusia modern? Karena tasawuf  ‟in old fashion‟  yang  hanya  mengarahkan  pelakunya  bersifat  otonomi dengan  unsur  rasa  ”dzawq”  sebagai  satu-satunya  pendekatan dalam  mengarungi  dunia  tasawuf  hanya  melahirkan  kesalehan individual  dan  melupakan  dimensi  lingkungan  sosial.  Seakanakan tasawuf hanya menjadikan seseorang saleh secara personal bukan  sosial.  Padahal  salah  satu  tujuan  diturunkannya  agama Islam adalah rahmatan li al-‟âlamîn.[21]
Hampir  semua  pengalaman  spiritual  yang  dialami  oleh  para sufi bisa dikatakan selalu mengarah ke dalam, dengan sendirinya bersifat subjektif. Karena itu sangat sulit untuk dikomunikasikan apalagi ditransformasikan pada orang lain. Karena sifatnya yang ‟tersembunyi‟  itulah  maka  tidak  ada  paradigma  yang  bisa digunakan untuk menguji keabsahan tasawuf secara aklamasi. Dunia  tasawuf  dalam  bentuk  old  fashion  ini  tidak  bisa dilepaskan  dari  kelembagaan  tarekat  yang  terjebak  dalam formalisme  ritual  dan  cenderung  mementingkan  wirid  serta kurang  mementingkan  ilmu  pengetahuan  yang  bersifat  empiris dan  rasional.  Sikap  eksklusivitas  tasawuf  juga  demikian  nyata; suatu  disiplin   keras  dan  ketundukan  mutlak  pada  syaikh,  yang diibaratkan  oleh  Junaid  al-Baghdadi  seperti  ”sebujur  mayat  di tangan orang yang memandikan”.[22]
Tampaknya untuk bisa keluar dari semua persoalan tersebut tidak ada jalan lain bagi tasawuf  selain melihat ilmu-ilmu sosial modern  yang  bisa  dijadikan  landasan  berpikir  selain  al-Qur‟an dan  Hadis  dalam  rangka  menjawab  perubahan  zaman.  Salah satunya  adalah  filsafat  yang  bisa  dijadikan  partner  dalam melakukan  formulasi,  reformulasi  dan  evaluasi  serta  reevaluasi atas berbagai doktrin dan ajaran.[23]
Semua doktrin dan ajaran tersebut diposisikan bukan sebagai “barang  jadi”,  akan  tetapi  sebagai  sesuatu  yang  mesti direformulasi  serta  reinterpretasi  secara  simultan  sesuai  dengan kebutuhan zaman, karena sifatnya yang historis bukan normatif. Dengan bantuan ilmu filsafat maka tasawuf dapat mempertajam rumusannya  untuk  menghindari  agar  tidak  terjebak  pada  sifat transendental-spekulatif.  Sehingga  bisa  ditemukan  bentuk metodologi  pengkajian  tasawuf  yang  lebih  memenuhi  standar keilmuan  yang  bisa  disepakati  bersama  dan  memberikan kontribusi  signifikan  bagi  umat  secara  keseluruhan.  Tasawuf yang  dimaksud  tentunya  tasawuf  yang  telah  diformulasikan secara kontekstual-humanis-sosiologis dan bersifat  social salvation tanpa  meninggalkan  kedalaman  spiritual  individual.  Dengan demikian  Islam  yang  di  dalamnya  bersemayam  tasawuf   secara dinamis  akan  senantiasa  ”mengawal  zaman”  dan  selalu tercerahkan serta mampu memberikan jawaban solutif terhadap setiap problem masyarakat modern.[24]
Tasawuf  sebagai  inti  dan  puncak  ajaran  Islam,  implisit  di dalamnya  bahwa  tasawuf  harus  dikaji,  ditelaah,  dan  dipahami serta dicari kebenarannya dengan tiga  perspektif; filosofis, sosiohistoris,  dan  spiritual-mistikal.  Hal  ini  sejalan  dengan  trilogi agama  Islam  berupa  Iman  (lingkup  filosofis),  Islam  (lingkup sosio-historis),  dan  Ihsan  (lingkup  spiritual).  Karena  dengan memadukan  tiga  sudut  pandang  tersebut  akan  dapat  dipahami orisinalitas  dan  otentisitas  Islam  sebagai  agama  universal  yang berlaku sepanjang zaman atau dengan kata lain Islam adalah titik balik dari perenialisme agama-agama.[25]
Sebenarnya  ‘Islam’  tidak  hanya  bermakna  keselamatan, kesejahteraan,  kedamaian,  dan  unsur  sosiologis  atau  psikologis kemanusiaan  yang  lain,  namun  letak  rahasia  terbesar  agama terakhir yang diberi nama „Islam‟ secara generik memiliki makna “berpasrah  diri  dengan  ketundukkan  total  dan  mutlak  kepada Allah."Sebagai  simbol  formal  penyerahan  diri  itu,  kaum muslimin  diwajibkan  melaksanakan  ibadah  salat  dengan  makna dasar sebagai do‟a atau permohonan kebahagiaan masa sekarang dan masa depan.[26]
Tiga  perbendaharaan  kata  dalam  ibadah  salat  adalah;  niat salat  yang  menyertakan  kata  “lillâhi  ta‟âlâ”  dan  diawali  dengan kata  basmalah  mengacu  pada suatu sikap keyakinan yang kokoh pada yang dituju, yakni Tuhan semesta alam. Dan hal inilah yang disebut sebagai iman. Makna generik iman adalah sikap percaya. Akan  tetapi  dalam  dimensinya  yang  lebih  dalam  iman  tidak hanya cukup dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu  belaka,  tetapi  menuntut  adanya  perwujudan  atau eksternalisasi  dalam  pola  perilaku.  Makna  iman  berarti  sejajar dengan kebaikan dan perbuatan baik.[27] Sedangkan Ihsan adalah ajaran  tentang  penghayatan  akan  hadirnya  Tuhan  dalam  hidup, melalui  penghayatan  diri  sedang  berhadapan  dan  berada  di hadirat-Nya ketika beribadah. Lebih jauh menurut Nurcholish Madjid,  “kesadaran  ketuhanan”  (God-consciousness)  adalah kesadaran  tentang  adanya  Tuhan  Yang  Maha Hadir  (Omnipresent) dalam hidup manusia, yang berkorelasi langsung terhadap akhlak manusia. Hal  ini  karena  secara  harfiah  Ihsan  berarti  “berbuat baik”,  dan  pelakunya  disebut  muhsin.  Maka  perpaduan  antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam  bentuk  al-akhlâk  al-karîmah  atau  disebut  ihsan.[28] Inilah dimensi sosial dalam tasawuf.[29]
Ajaran  tasawuf  sebenarnya  bukan  anti  kemodernan, penghambat kreatifitas  serta penghalang kemajuan. Akan tetapi justru mengarahkan manusia untuk bersikap progresif, aktif dan produktif. Karena dunia dalam sistem eskatologi Islam hanyalah perantara  menuju  akhirat,  maka  alat  atau  perantara  itu  harus dimaksimalkan  penggunaannya.  Dengan  kata  lain  maqâmât  dan ahwâl  harus  dirubah  menjadi  mental  ofensif  sebagai  alat menghadapi  problem  hidup  menuju  perjuangan  sosial  yang bersifat horizontal dan mewujudkan moral ke panggung sejarah.[30]
Selain itu tuntutan yang muncul dari akibat modernisasi dan industrialisasi  adalah  pengembangan  intelektual  agar  memiliki kemampuan  apresiatif,  dialogis,  dan  fungsional  terhadap perkembangan  IPTEK.  Dalam  tasawuf,  sains  adalah  salah  satu metode agar setiap orang menjalani tasawuf. Hanya saja metode yang  dimaksudkan  dalam  sains  di  sini  adalah  akalnya  bukan hanya  semata-mata  rasional  (fikr),  tetapi  juga  akal  dzawq. Sehingga  kemajuan  IPTEK  tidak  menggiringnya  ke  arah rasionalisme ekstrem, sekuler dan materialistik, tetapi memenuhi ruang keilmuan dengan visi keillahian sehingga tidak mengalami kehampaan  spiritual.  Karena  secara  epistemologis,  tasawuf menggunakan  metode  intuitif,  yang  di  abad  modern  ini  dapat dijadikan  salah  satu  alternatif  dari  rasionalisme  dan  empirisme dan  membantunya  untuk  melakukan  terobosan  baru  dalam berbagai hal.[31]



III.             PENUTUP
Ajaran  tasawuf  sebenarnya  bukan  anti  kemoderenan, penghambat kreatifitas  serta penghalang kemajuan.  Akan tetapi justru mengarahkan manusia untuk bersikap progresif, aktif dan produktif. Karena dunia dalam sistem eskatologi Islam hanyalah perantara  menuju  akhirat,  maka  alat  atau  perantara  itu  harus dimaksimalkan  penggunaannya.  Dengan  kata  lain  maqâmât  dan ahwâl  harus  diubah  menjadi  mental  ofensif  sebagai  alat menghadapi  problem  hidup  menuju  perjuangan  sosial  yang bersifat horizontal dan mewujudkan moral ke panggung sejarah.
Dengan  demikian  tasawuf  tidak  lagi  identik  dengan  sikap hidup  pesimisme  dan  sikap  pasrah  kepada  nasib  tanpa  mau berusaha merubah jalan hidup. Sebaliknya, tasawuf juga mampu menjadikan orang lebih bersikap optimis dan dinamis. Pola pikir semacam  itulah  yang  akan  menjadikan  tasawuf  senantiasa dinamis  dan  mampu  berperan  untuk  ”mengawal  zaman”  dan selalu  tercerahkan  serta  mampu  memberikan  jawaban  solutif terhadap setiap problem masyarakat modern.  Wa alLâh a’lam bi al-shawâb.
DAFTAR PUSTAKA

Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf (Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012)
Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004)
Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Tasawuf dan Tantangan Modernitas, (Ulumuna, Volume XIV Nomor 2 Desember 2010)




[1] Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 12
[2] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Tasawuf dan Tantangan Modernitas, (Ulumuna, Volume XIV Nomor 2 Desember 2010), hlm. 415
[3] Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada´. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Al-Imran (3); 140)
[4] Ibid.  
[5] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 417
[6] Ibid, hlm. 417-418
[7] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 418
[8] Ibid, hlm. 419
[9] Ibid.
[10] Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf (Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 16
[11] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 420
[12] Ibid, hlm. 420-421  
[13] Ibid, hlm. 421
[14] Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A’raf (7); 172)
[15] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 421
[16] Ibid, hlm. 422
[17] Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Hadid (57); 3)
[18] Ibid.
[19] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 422
[20] Ibid.
[21] Ibid, hlm. 423
[22] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 423
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm. 424
[25] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 424
[26] Ibid.
[27] Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah (2); 177)
[28] Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. ( QS. Al-Lukman (31); 22)
[29] Tri Astuti Haryati dan Muhammad Kosim, Op cit, hlm. 425
[30] Ibid,  hlm. 424
[31] Ibid, hlm. 424-425

Kamis, 02 Juni 2016

URGENSI STUDI ISLAM INTEGRATIF (Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkonektif )





Diajukan untuk Memenuhi Tugas :
Mata kuliah                    :           Studi Islam Integratif
Dosen Pengampu           :           Dr. H. Muhammad Hasan Bisyri M.Ag



preview_html_3aaf7fa1
 










Oleh:
MUHAMMAD ZULQORNEIN
2052115064


PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016



I.                   PENDAHULUAN

Pada saat ini umat Islam sedang menghadapi tantangan dari kehidupan dunia dan budaya modern, studi kesilaman menjadi sangat urgen. Studi Islam dituntut untuk membuka diri terhadap masuknya dan digunakannya pendekatan-pendekatan yang bersifat objektif  dan rasional. Dan secara bertahap meninggalkan pendekatan yang bersifat subjektif doktiner, dengan demikian diharapkan studi Islam akan berkembang dan mampu beradaptasi dengan dunia modern. Urgensi studi Islam yang demikian dapat dipahami dan diuraikan di halaman selanjutnya.



II.                PEMBAHASAN

A.    Umat Islam Saat Ini Berada Dalam Kondisi Problematis
Saat ini umat Islam berada dalam posisi pinggiran (marginal) dan lemah dalam segala bidang kehidupan sosial budaya. Dalam kondisi ini, umat Islam harus bisa melakukan gerakan pemikiran yang dapat menghasilkan konsep pemikiran yang cemerlang dan operasional untuk mengantisipasi perkembangan dan kemajuan tersebut. Umat Islam jangan sampai terjebak dalam romantisme, dalam arti menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan masa lalu sebagaimana terwujud dalam sejarah Islam, sementara umat Islam saat ini masih silau dalam menghadapi masa depannya. Pemikiran itu tidaklah salah, tetapi suatu kemunduran karena penyimpangannya akal dari fungsi sebenarnya. Dan akan lebih baik kalau dibarengi dengan berbagai usaha yang serius dan penuh keyakinan untuk dapat mewujudkannya dalam realitas kehidupan yang serba maju dan canggih ini.[1]  Disadari atau tidak, ilmu seolah dipisahkan menjadi “Ilmu Agama” dan “Ilmu Umum”. Dikotomi terhadap ilmu ini akhirnya memaksa untuk meyakini adanya sistem pendidikan yang dualisme seperti “pendidikan agama” dan “pendidikan umum”. Kepada sistem tersebut akhirnya dikenal dengan “pendidikan tradisional” yang pertama dan “pendidikan modern” yang kedua.[2]
Dalam posisi problematis itu, jika mereka hanya berpegang pada ajaran-ajaran Islam hasil penafsiran Ulama terdahulu yang merupakan warisan doktriner turun-temurun dan dianggapnya sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan sudah paten, serta tidak ada keberanian untuk melakukan pemikiran ulang, maka berarti mereka kemandekan intelektual yang pada gilirannya akan menghadapi masa depan yang suram. Di sisi lain, jika mereka melakukan usaha pembaruan dan pemikiran kembali secara kritis dan rasional terhadap ajaran-ajaran Islam guna menyesuaikan terhadap tuntunan perkembangan zaman dan kehidupan modern, maka akan dituduh sebagai umat yang meninggalkan atau tidak setia lagi terhadap ajaran Islam yang dianggapnya sudah mapan dan sempurna tersebut.[3]
Melalui pendekatan yang bersifat rasional-objektif, studi Islam diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam diharapkan dapat keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam diharapkan dapat mengarah kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaruan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam yang merupakan warisan doktriner turun-temurun dan dianggapnya sudah mapan dan sudah mandek dan sudah ketinggalan zaman dan dunia modern, dengan tetap berpegangan pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Alqur’an dan Hadits. Studi Islam tersebut juga diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat Islam, agar tetap menjadi seorang muslim sejati, yang hidup dalam dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman modern maupun era globalisasi sekarang ini.[4]

B.     Umat Manusia dan Peradabannya Berada Dalam Suasana Problematis
Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah membuka era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia, yang dikenal dengan era globalisasi. Pada era ini ditandai dengan semakin dekatnya jarak hubungan komunikasi antar bangsa yang saling memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada satu bangsa dan negara pun yang bisa berdiri sendiri secara terpisah dari bangsa dan negara lainnya. Bangsa dan negara sudah maju sebaliknya eksistensi bangsa dan negara yang sudah maju, sekalipun ketergantungannya itu memiliki motivasi dan kualitas yang berbeda.[5]
Pada suasana semacam ini tentunya umat manusia membutuhkan adanya aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma serta pedoman dan pegangan hidup yang universal dan diakui atau diterima oleh semua bangsa. Hal ini diperlukan demi terciptanya kehidupan yang aman dan damai di antara mereka dan terjalinnya saling kerja sama dan tolong menolong antara mereka guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup dalam kehidupan umat manusia di dunia.[6]
Masalahnya adalah: “dari mana sumber aturan, nilai dan norma serta pedoman hidup yang universal tersebut diperoleh?” umat manusia dalam sejarah peradaban dan kebudayaannya memang telah berhasil menemukan agama, filsafat, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian ternyata agama telah ditinggalkan oleh perkembangan filsafat, ilmu ini di andalkan ternyata juga tidak mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup, apalagi aturan-aturan yang universal. Dengan demikian agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan dipandang tidak mampu memberikan bimbingan, apalagi mengontrol terhadap perkembangan budaya dan peradaban manusia pada masa modern dan era globalisasi saat ini. Filsafat dan ilmu pengetahuan hanya mampu memberikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan semata-mata kepada manusia. Kaulah sasaran ilmu pengetahuan sampai menyentuh pada aspek-aspek nilai, norma, hukum, dan sebagainya, maka yang mampu dikembangkan hanyalah nilai-nilai, norma hukum-hukum yang bersifat relatif, kondisional, temporal, sektoral, tidak bersifat universal, dan manusiawi. Sementara itu teknologi modern justru semakin menjadikan manusia-manusia modern kehilangan identitas diri (self-identity), menurunkan derajat kemanusiaan, dan menyebabkan terjadinya proses dehumanisasi, yang menjadikan manusia kehilangan sifat-sifat manusiawinya.[7]
Dengan demikian, manusia modern pun berada dalam kondisi yang serba problematis. Jika ilmu pengetahuan dan teknologi modern dibiarkan berkembang terus secara bebas tanpa kontrol dan pengarahan, maka akan menyebabkan terjadinya kehancuran dan malapetaka yang mengancam kelangsungan hidupnya dan peradaban manusia itu sendiri. Agama dan filsafat, yang semula diakui sebagai sumber nilai dan norma yang mereka anut, ternyata tidak mampu memberikan nilai-nilai dan norma-norma hidup yang bersifat universal yang mampu mengontrol dan mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Karena itu agama dan filsafat dipandang telah kehilangan otoritasnya.[8]
Roger Garaudy yang dikutip dalam buku karangan Muhaimin, mengemukakan analisisnya bahwa “perkembangan” filsafat dan peradaban modern saat ini mendorong manusia kepada hidup tanpa tujuan dan membawanya kepada kematian. Hal ini merupakan akibat dari perkembangan filsafat barat modern yang salah arah, yang berpegangan pada:
1.      Konsep keliru tentang alam, alam dianggap milik manusia dan berhak memanfaatkannya, termasuk merusaknya, sehingga manusia tidak memandang, kecuali sebagai reservoir kekayaan alam dan tempat pembuangan sampah dan polusi. Dengan cara ini, dengan habisnya sumber-sumber alam dengan polusi, manusia telah menghacurkan lingkungannya yang vital dan menjadi pembantu yang tidak sadar bagi peraturan entrophy, yakni kaidah tentang berkekurangan energi dan bertambahnya kekaauan;
2.      Konsep yang tidak mengenal belas kasihan tentang hubungan manusia, didasarkan pada individualisme tanpa kendali dan hanya menghasilkan masyarakat persaingan pasar, konfrontasi, kekerasan; di mana beberapa kesatuan ekonomi atau politik yang ketat dan sangat kuat memperbudak atau memangsa mereka yang lebih lemah.
3.      Konsep yang menyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan hanya akan merupakan kepanjangan dan penambahan kuantitatif dari keadaan sekarang, tanpa tujuan kemanusiaan, dan tanpa hubungan dengan Tuhan, serta tanpa sesuatu yang transenden yang mengatasi cakrawala ini, untuk memberikan arti kepada hidup umat manusia dan mengelakkan mereka dari jalan yang menuju kematian.[9]
Dengan situasi problematis yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan filsafat modern dewasa ini. Situasi semacam ini bukan hanya menimpa dan merupakan tantangan bagi bangsa-bangsa modern yang menjadi penyebab timbulnya, akan tetapi juga menimpa dan merupakan tantangan bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia, termasuk dalamnya umat Islam.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil al-alamin, tentunya mempunyai konsep-konsep atau ajaran-ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan manusia dan alam semesta dari kehancurannya. Karena itu Islam harus bisa menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada dunia modern, dan diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif pemecahan terhadap keadaan problematis. Kondisi ini juga berada dalam situasi yang problematis. Kondisi kehidupan sosial budaya dan peradaban umat Islam sendiri saat ini juga berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya berhadapan dengan budaya dan peradaban manusia dan dunia modern. Karena itu, mampukah umat Islam mewujudkan misi agamanya sebagai rahmatan lil al-alamin.[10]

C.    Design Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN: dari Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkonektif

Perjalanan panjang cita-cita konversi IAIN Sunan Kalijaga ke UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga seolah-olah hampir berakhir ketika Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 1/ 0/ SKB/ 2004; Nomor: ND/ B.V/ I/ Hk.00.1/ 04 tentang perubahan bentuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004.[11]
1.      Pengembangan IAIN ke UIN: Menjawab Kekhawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru
Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa ditutup-tutupi. Sebelum Senat Institut menyetujui konversi IAIN ke UIN, kekhawatiran dan kecemasan tampak dalam diskusi sidang Senat dan lebih-lebih di luar forum. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagaimana nasib fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Usuluddin? Akankah fakultas-fakultas ini dipinggirkan dan dimarginalkan? Bernasib samakah fakultas-fakultas ini dengan fakultas agama di Universitas Islam Indonesia (UII) dan di lingkungan Universitas Muhammadiyah di seluruh tanah air? Dan berbagai pertanyaan lainnya. [12]
Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul, Pertama, yang harus digarisbawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Menteri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN, namun tugas pokoknya tetap sebagai institut pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program nun-agama Islam (Umum) merupakan tugas tambahan”. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan, pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik fokus penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang ada pada universitas.[13]
Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini (fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Usuluddin), dari semula berdiri memang telah dengan sengaja dibina, dipelihara, dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Untuk itu, kekhawatiran akan termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarang tidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemologi baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana-sini (akan diuraikan lebih lanjut), sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.[14]
Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daripada Institut. Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupun luar Negeri menjadi terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat (akan diuraikan lebih lanjut). Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah penelitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerja sama dengan dunia usaha.[15]


2.      Kegelisahan Ilmuwan terhadap Rancang Bangun Akedemik Ilmu-ilmu Keislaman yang Dikotomis-Atomistik: Bayani, Irfani, Burhani
Pada dasarnya ilmu pengetahuan manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok: Natural Sciences, Social dan Humanities. Oleh karenanya, untuk pendirian sebuah Universitas, Departemen Pendidikan Nasional mensyaratkan dipenuhinya 6 program studi umum dan 4 program studi sosial. Persyaratan ini bagus, namun para ilmuwan sekarang mengeluh tentang output yang dihasilkan oleh model pendidikan universitas yang berpola demikian. sama halnya keluhan orang terhadap alumni perguruan tinggi agama yang hanya mengetahui soal-soal “normativitas” agama, tetapi kesulitan memahami historisasi agama sendiri, lebih-lebih historisitas agama orang lain.[16]
Pola dikotomis-atomistik dalam bangunan ilmu-ilmu agama (Islam) yang biasa di ajarkan di PTKIN. Dalam skema dan bagan di bawah ini (skema1), yang diambil inspirasinya dari karya-karya Muhammad Abid al-Jabiry yang dikutip dalam buku karangan Amin Abdullah, dengan modifikasi di sana-sini oleh penulis sesuai perkembangan telaah epistemologi dalam tradisi ilmu pengetahuan, penulis ingin memperlihatkan struktur fundamental ulumuddin dalam perspektif epistemologi bayan sekaligus dalam perbandingannya dengan epistemologi ‘irfani dan burhani. Menurut al-jabary, corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fikih dan kalam. Dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN, besar kemungkinan juga pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum negeri dan swasta, dan lebih-lebih di pesantren-pesantren, corak pemikiran keislaman model bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemoni sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi Irfan dan Burhan. Oleh karenanya dalam bagan di bawah penulis sebut sebagai corak atau model dikotomis atomistik.[17]
Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani saling terkait, terjaring, dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagaman Islam, menurut hemat penulis, jauh lebih komprehensif, dan bukannya bercorak dikotomis-atomistis seperti di jumpai sekarang ini.[18]

Skema 1
Keilmuan IAIN: Pendekatan Dikomis-Atomistik
Sumber Imu Pengetahuan
Gugus Paradigmatik
Metodologi (Proses & Procedure)
Tipe Argumen
Tujuan Pembelajaran
Sifat dasar keilmuan
Pembidangan Ilmu
Akal (Aql)
Tajridiyyah (Abstraktif)
·         Bubtsiyyah
Demonstrasi
·         Idrak al sebab wa al-musabbabat
Silogstik (al-matqiyyah)
Al-ilm al-husuly
Wahyu (Nash)
Lughawiyah (Kalam, Word)
·         Intintaiyyah
Jadaliyyah (al-Uqul-al-mutanafisah
·         Muqarabah al-nash al waqqi
Justifikatif Repetitif (al-taqlidiyyah)
Al-ilm al-tauqify
Instuisi (Dhamir)
Dzauqiyyah
·         Tajribah Batiniyah (experience)
Al-La’aqliyyah (Preverbal)
·         Universal Recipreocity
Partisipatif-instersubjektif
Al-ilm-hudury


3.      Meretas Jalan Baru Proyek Integrasi Epistemologi Keilmuan Era UIN
Pengembangan dan konversi IAIN ke UIN adalah proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Bukan berubah asal berubah, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan pula sekedar proyek fisik. Konversi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi” keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[19]
Proyek besar reintegrasi epistemologi keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerja sama antara disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat di masa yang akan datang. Pendekatan interdisipliner di kedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.

Skema Interconnected Entities
 












Skema di atas alah proyek keilmuan yang diemban oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN. Tampak dalam skema di atas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan, demi untuk menyongsong realisasi proyek keilmuan baru pada era UIN.[20]
Wallahu a’lam bisawab.

III.             PENUTUP

Melalui pendekatan yang bersifat rasional-objektif, studi Islam diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut. Studi Islam diharapkan dapat mengarah kepada dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaruan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam, dengan tetap berpegangan pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu Alqur’an dan Hadits.
Untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang asli dan murni, dan yang bersifat manusiawi dan universal, yang mempunyai daya untuk mewujudkan diri sebagai rahmatan lil al-alamin. Dari situ kemudian ditransformasikan kepada generasi penerusnya; dihadapkan dengan budaya dan peradaban modern, agar mampu berhadapan dan beradaptasi dengannya.
Dari pendekatan-pendekatan urgensi studi Islam Integratif, salah satunya yakni dari pendekatan dikotomis-atomistik ke integratif-interkoneksi (desain pengembangan akademik IAIN meunuju UIN). Sebagai perubahan, pengembangan dan juga pembaruan, maka di perlukan adanya keterkaitan satu dengan yang lain dan di hubungkan dengan masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta, Prenada Media Group, 2014)
Baharuddin, dkk, Rekontruksi Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya)
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012)




[1] Muhaimin, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta, Prenada Media Group, 2014), hlm. 4
[2] Baharuddin, dkk, Rekontruksi Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya), hlm. 22
[3] Ibid  
[4] Muhaimin, Op cit. Hlm. 4
[5] Ibid. Hlm. 5
[6] Ibid.
[7] Muhaimin, Op cit. Hlm. 6
[8] Ibid,
[9] Muhaimin, Op cit. Hlm. 7-8
[10] Ibid.
[11] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 361
[12] Ibid, hlm. 365-366
[13] Ibid, hlm. 366-367
[14] Ibid, hlm. 367-368
[15] Ibid, hlm. 370
[16] Amin Abdullah, Op cit, hlm. 371
[17] Ibid, hlm. 373
[18] Amin Abdullah, Op Cit, hlm. 386
[19] Ibid, hlm. 399
[20] Amin Abdullah, Op Cit, hlm. 405