Selasa, 31 Mei 2016

TASAWUF DAN PENANGGULANGAN KORUPSI



MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas :
Mata kuliah                    :  Pendidikan Spiritual dan Akhlaq
Dosen Pengampu           :          
1.      Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A
2.      Dr. K.H. Chusnan bin Djaenuri, M. A
3.      Dr. H. Imam Khanafi al-Jauhari, MAg


 












Oleh:
MUHAMMAD ZULQORNEIN
2052115064


PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016
I.                   PENDAHULUAN
Dalam konteks mistisisme Islam dinamis, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip  shiddiq,  amanah,  tabligh dan fathanah. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai  distorsi  terhadap  kehidupan  masyarakat  dan negara,  dapat dikategorikan  termasuk  perbuatan  fasad  (korup),  kerusakan  di  muka bumi,  yang  juga  amat  dikutuk  Tuhan.  Sayangnya,  perbuatan  korupsi tidak  sampai  disadari  sebagai  salah  satu  dari  perwujudan  syirik. Korupsi hanya disadari sebagai bentuk salah satu perbuatan jahat dan bertentangan  dengan  nilai-nilai  kitab  suci  al-Qur`an  dan  Sunnah Rasulullah  Saw  sebagai  dasar  utama  rujukan  kaum  shufi  dan  ajaran tashawwuf.
Di  sinilah  agaknya  letak  urgensinya  tasawuf dalam membentuk kesadaran sikap dan perilaku seseorang agar tidak tertipu memperoleh  harta  benda,  kekayaan,  jabatan  dan  kedudukan,  dengan sikap tamak, rakus dan illegal. tasawuf juga berperan sebagai upaya  preventif  agar  seseorang  sadar  untuk  tidak  berperilaku menyimpang dalam meraih harta kekayaan duniawi.
II.                PEMBAHASAN

1.      Makna Korupsi
Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi berasal dari kata “corruption” dalam bahasa Latin yang berari kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk.[1] Al-Qur`an  menggunakan  term  fasad  (corruption  dalam  bahasa Inggris,fu pai te dalam bahasa Mandarin dan fuhai dalam bahasa Jepang) dalam  makna  merusak,  antara  lain  yang  terpenting  terdapat  dalam surah  al-Baqarah  ayat  11  dan  12,  dijelaskan  Tuhan  larangan  berbuat kerusakan  (la  tufsidu  fi  al-ardhi)  dan  perbuatan  yang  seolah-olah membuat  perbaikan  di  muka  bumi  padahal  mereka  melakukan perusakan  (al-mufsidun),  dianggap  sebagai  ciri  munafik  (hipokrit). Dalam surah al-A’raf ayat 127 adalah konteks rekaman dialog Fir’aun dengan pembesar-pembesar kaumnya dimana kata kerja liyufsidu fi alardhi digunakan  untuk  mengindikasikan  kemungkinan  ajaran yang dibawa  Nabi  Musa  merusak  kewibawaan  Fir’aun.  Dalam  surah  al Syu’ara ayat 152 diceritakan bahwa kaum Tsamud mendustakan Nabi Saleh. Nabi Saleh menyeru kaumnya agar tidak mengikuti mereka yang melewati batas, yaitu merusak (yufsiduna fi al-ardhi) di muka bumi dan tidak  memperbaikinya.  Dalam  surah  al-Naml  ayat  48  punya  konteks yang sama dengan surah al-Syu’ara ayat 152 yaitu pelajaran dari kaum Nabi Saleh yang merusak di muka bumi (yufsiduna fi al-ardhi). Konteks surah al-Qashash ayat 77 menjelaskan ketidaksukaan Tuhan terhadap Qarun yang suka merusak di bumi (al-mufsidina). Sedangkan surah alFajr ayat 12 memiliki konteks peringatan Tuhan kepada ummat Nabi Muhammad  Saw  yang  membuat  kerusakan  di  negeri  yang  nasibnya akan seperti mereka yang menentang kepada para nabi terdahulu. [2]
Perbuatan  merusak  kalau  dikaitkan  dengan  ayat-ayat  al-Qur`an di atas termasuk ke dalam merusak di muka bumi terutama terhadap sesama manusia dan alam. Terhadap manusia semua aktivitas manusia baik  ekonomi,  sosial  maupun  politik,  misalnya,  surah  al-Muthaffifin ayat  1-5,  mengecam  keras  dan  diancam  dengan  siksa  yang  sangat pedih  bagi  mereka  yang  mengurangi  timbangan  (takaran)  dalam melakukan aktivitas perdagangan (jual beli). Terhadap alam, tindakan manusia yang dapat menimbulkan masalah, baik bagi manusia maupun alam  semesta  itu  sendiri  termasuk  ke  dalam  tindak  korupsi,  seperti banyak  kasus  illegal  logging  (pembalakan  liar)  dan  penebangan  kayu illegal  dalam  beberapa  dekade  ini  di  tanah  air,  khususnya  di  bumi Melayu (Riau) ini, telah mengakibatkan pencemaran udara yang massif karena  pembakaran  hutan  di  musim  kemarau  (menimbulkan  kabut asap  sampai  ke  negara  jiran,  Malaysia  dan  Singapura),  angin  puting beliung dan longsong yang merusak banyak rumah dan banjir bandang dimana-mana  di  musim  hujan  yang  merusak  sarana  transportasi dan komunikasi. Padahal  al-Qur`an  mengingatkan,  kerusakan  di  muka bumi, di darat (udara) dan di laut akibat ulah tangan usil manusia (alRum  ayat  41). Perbuatan  fasad  (korup),  kerusakan  di  muka  bumi tersebut amat dikutuk Tuhan. Perbuatan korupsi itu dalam perspektif shufisme disadari  sebagai  salah  satu  dari  perwujudan  syirik.[3] Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Makruf Amin, angkat bicara. Ia menilai pidana hukuman mati juga bisa dijatuhkan terhadap para koruptor. Makruf menambahkan, salah satu fatwa untuk para koruptor misalnya menyita semua harta serta hukuman mati. Alasan pelaku kejahatan rasuah dibuat miskin lantaran sudah mengambil uang rakyat. Selain itu, kata Makruf, dalam fatwa korupsi disebutkan pula jika pejabat menerima hadiah yang bukan haknya dapat dikategorikan perbuatan korupsi. Sebab, lanjut dia, pemberian tersebut merupakan jalan pembuka sebelum tindak pidana korupsi.[4] Agenda  pemberantasan  korupsi  di  tanah  air tidak  dilakukan  seradikal  di  negeri  tirai  Bambu  (Cina)  yang  dikenal dengan  semboyan  Peti  mati  untuk  koruptor,  tegar  sejak Xi Jinping menjabat sebagai Presiden China pada 14 Maret 2013.[5]
Secara umum korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Robert Klitgaard (2002), merumuskan pengertian umum korupsi dalam rumus:
C = M + D – A
Dari rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa, Korupsi (C=Corruption) adalah fungsi dari Monopoli (M=Monopoly) ditambah kewenangan (D=Discretion) dikurangi Akuntabilitas (A=Acuntability). Jadi korupsi dapat terjadi apabila ada monopoli kekuasaan di tengah ketidakjelasan aturan dan kewenangan, akan tetapi tidak ada mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik (Robert, 2002).[6]
Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas ini telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan tapi juga menghancurkan martabat bangsa kita dimata dunia yang konon terkenal dengan etika ketimurannya. Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan penyebab dari bobroknya birokrasi serta penanggulangannya. Dalam diri aparatur birokrasi dan pada warga negara kita pada umumnya telah mengidap “penyakit jiwa” yang penulis bagi dalam tiga misal. Pertama, penyakit spiritual.  Kedua, penyakit mental. Ketiga penyakit intelektual. Produk dari ketiga penyakit tersebut adalah penyakit yang keempat, yakni penyakit moral.[7]
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.[8] Salah satu pasal-pasalnya, yakni rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata “dapat” sebelum unsur “merugikan keuangan/ perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk yang paling banyak digunakan untuk memidana koruptor.[9]
2.      Jenis, Bentuk, Dampak dan hukumnya
Syed Husein Alatas (1987) dalam jurnal M.Syamsudin, berdasarkan hasil penelitiannya di Asia, terutama di Malaysia dan Indonesia mengemukakan tujuh kategori korupsi, yaitu: (1) Korupsi transaktif yaitu uang yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima keuntungan bersama. Kedua pihak samasama aktif dalam menjalankan perbuatan tersebut; (2) Korupsi pemerasan yaitu jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap demi mencegah kerugian yang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya. Korupsi yang dilakukan oleh Polisi lalu lintas termasuk jenis korupsi pemerasan; (3) Korupsi investif yaitu pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh pada masa mendatang. Bentuk korupsi seperti ini dilakukan oleh yang memberi uang bulanan secara rutin kepada hakim. Harapannya kelak ketika kasusnya masuk ke pengadilan, hakim yang telah digajinya langsung menangani perkaranya; (4) Korupsi perkerabatan (nepotisme) yaitu penunjukan secara tidak sah terhadap teman atau saudara untuk memegang suatu jabatan, atau tindakan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku; (5) Korupsi defensif. Korupsi ini dilakukan oleh korban korupsi pemerasan. Dengan demikian orang yang diperas melakukan korupsi untuk menyelamatkan kepentingannya. Korupsi seperti ini sering dilakukan oleh keluarga terdakwa yang tidak ingin terdakwa ditahan atau diproses lebih lanjut; (6) Korupsi otogenik yaitu korupsi yang dilakukan oleh seorang diri karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu yang diketahuinya sendiri. Panitera pengadilan kerap melakukan korupsi seperti ini dalam administrasi pendaftaran perkara. Ketidakjelasan tarif pendaftaran membuatnya leluasa menentukan harga yang harus dibayar oleh pengacara; (7) Korupsi dukungan yaitu dukungan terhadap korupsi yang ada atau penciptaan suasana yang kondusif untuk dilakukaknnya korupsi. Korupsi ini dilakukan oleh elit di lembaga peradilan yang tidak mempunyai kemauan politik untuk menindak tegas bawahannya (Hussein, 1987).[10]
Fatwa Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dari kalangan NU di  Asrama Haji Pondok Gede,  Agustus 2002 mengemukakan hal-hal sebagai berikut : (1) Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan penghianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), perampokan (nahb); (2) Pengembalian uang korupsi tidak menggugurkan hukuman. Karena tuntutan hukuman merupakan hak  Allah, sementara pengembalian uang korupsi ke negara merupakan hak masyarakat (hak adamiy). Hukuman yang layak untuk koruptor adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati; (3) Money politicssebagai pemberian (berupa uang atau benda lain) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif dalam pandangan syariat merupakan suap (risywah) yang dilaknat  Allah, baik yang memberi (rasyi), yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raaisyi) (Gatra, 2002).
Adapun Muhammadiyah dan NU memiliki pengalaman dalam pemberantasan korupsi dan perwujudan integritas publik, meski secara eksplisit keduanya tidak menggunakan istilah tersebut. Secara internal, Muhammadiyah dan NU juga telah berusaha menjalankan prinsip integritas dengan membudayakan pembuatan laporan setiap tahun, akhir periode kepemimpinan, dan program yang didanai pihak luar. Budaya mewujudkan integritas publik juga tampak dalam program sertifikasi aset lembaga, sistem audit, penggunaan managemen yang sehat, dan tertib administrasi. Yang menarik, keduanya telah menggunakan media massa untuk membangun integritas. Hal ini dapat diamati melalui publikasi laporan pertanggungjawaban yang dimuat di media komunitas masing-masing seperti Majalah  Matan  dan  Suara Muhammadiyah (Muhammadiyah Jatim) serta Majalah  Aula  (NU Jatim). Sindikasi dengan media massa lain seperti koran, radio, dan televisi juga digunakan dua ormas tersebut untuk mempercepat usaha mewujudkan integritas publik.[11]
Akibat atau dampak adanya korupsi di pengadilan, maka sudah dapat dipastikan sebagaian besar atau bahkan seluruhnya, produk lembaga peradilan tidak mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum, karena disinyalir terjadi “main mata” di antara aparat penegak hukum dengan para pihak pencari keadilan. Permainan seperti itu semakin memperburuk bahkan mempercepat proses pembusukan lembaga peradilan yang pada gilirannya akan menumbuhkan sikap antipati kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Kemudian yang terjadi adalah munculnya serta tumbuh suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri di masyarakat dalam menyelesaikan sengketa.
Dari berbagai pengertian korupsi yang telah dikemukakan di muka, nampak bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma kejujuran, sosial, agama dan hukum. Namun demikian munculnya korupsi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan kebutuhan individual maupun kelompok serta didukung oleh lingkungan sosial-budaya yang mewarisi tradisi korup. Di samping itu budaya hukum elit penguasa tidak menghargai kedaulatan hukum, akan tetapi lebih mementingkan status sosial, ekonomi dan politik para koruptor . Budaya hukum internal penegakan hukum sendiri juga tidak mendukung pemberantasan korupsi, yang ditunjukkan dengan adanya praktek korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption).
Salah satu hukuman yang tertera dalam buku Memahami Untuk Membasmi penerbit KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) , bahwa Rumusan pada pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999[12], pertama kali termuat dalam pasal 1 ayat (1) huruf  a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata “dapat” sebelum unsur “merugikan keuangan/ perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk yang paling banyak di gunakan untuk memidana koruptor.[13] Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur; (1) setiap orang; (2) memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korupsi; (3) dengan cara melawan hukum; (4) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[14]
3.      Akar Sebab Korupsi
Jika ditilik sungguh-sungguh nama resmi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada perbedaan jelas dengan undang-undang pidana khusus yang lain, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Imigrasi. Pada undang-undang yang tersebut pertama, ada kata pemberantasan di tengah-tengah yang akan mengasosikan pikiran kita, bahwa seakan-akan dengan undang-undang itu korupsi dapat diberantas, padahal telah terbukti dalam sejarah, tuntutan pidana berlaka tidak akan memberantas kejahatan. Seperti telah diuraikan oleh Thomas Moore (1478-1535) yang di kutip dalam karangan Andi Hamzah, dalam 25 tahun ada 72.000 pencuri digantung di daerah yang penduduknya tiga sampai empat juta orang saja, tetapi kejahatan terus saja merajalela. Menurut Moore, dengan kekerasan saja tidak akan dibendung kejahatan. Untuk memberantas kejahatan harus dicari sebabnya dan menghapuskannya. Dengan demikian, kejahatan seperti korupsi pun tidak akan terberantas atau berkurang kecuali kalau kita dapat menemukan sebabnya, kemudian sebab itu dihapuskan atau dikurangi.[15]
Tentang kausa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia, pelbagai pendapat telah dilontarkan. Ditambah dengan pengalaman-pengalaman selama ini, kita dapat membuat asumsi atau hipotesis misalnya sebagai berikut.[16] (1) Kurangnya gaji dan Pendapatan Pegawai Negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Patut diingat bahwa kurangnya gaji pegawai negeri ini dibandingkan dengan kebutuhan, semakin gawat manakala diperhatikan kebutuhan yang semakin meningkat sebagai akibat kemajuan teknologi. Dan menurut pendapat Schoorl, yang dikutip oleh Andi Hamzah, “di Indonesia di bagian pertama tahun 60-an situasinya begitu merosot sehingga golongan-golongan besar dari pegawai gaji sebulan hanya sekedar cukup untuk makan dua minggu. Dapat dipahami bahwa situasi demikian itu para pegawai terpaksa mencari penghasilan tambahan dan bahwa banyak di antara mereka mendapatkannya dengan meminta uang ekstra”.[17] (2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Soedarso yang kutip dalam buku karangan Andi Hamzah, bahwa menunjuk penyebab dari korupsi selanjutnya mengurai panjang lebar tentang latar belakang kultur ini. Antara lain di katakan sebagai berikut. “Dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia, apabila itu di tinjau lebih lanjut, yang perlu di selidiki tentunya bukan kekhususan melalui orang satu per satu, melainkan yang secara umum meliputi, dirasakan dan mempengaruhi kita semua orang Indonesia. Dengan demikian mungkin kita bisa menemukan sebab-sebab masyarakat kita dapat menelurkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang. Mengapa korupsi itu secara diam-diam di tolereer, bukan oleh penguasa, tetapi oleh masyarakat sendiri. kalau masyarakat umum mempunyai semangat antikorupsi seperti para mahasiswa pada waktu melakukan demontrasi antikorupsi, maka korupsi sungguh-sungguh tidak akan dikenal.”[18](3) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien. (4) Moderenisasi. mo·der·ni·sa·si /modérnisasi/ n proses pergeseran sikap dan mentalitas sbg warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dng tuntutan masa kini.[19] Menurut Koentjaraningrat dalam kutipan Andi Hamzah, memandang korupsi sebagai salah satu kelemahan dalam pembangunan. Beliau mengatakan sebagai berikut. “jelas bahwa banyak yang masih harus kita ubah kalau kita hendak mengatasi penyakit-penyakit sosial budaya yang parah seperti krisis otoritas, kemacetan administrasi, dan korupsi menyeluruh yang sekarang mengganas dalam masyarakat kita itu. bagaimana caranya mengubah mentalitas yang berjiwa pembangunan? Menurut hemat saya ada empat jalan ialah; (a) dengan memberi contoh yang baik; (2) dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok; (3) dengan persuasi dan penerangan; dan (4) dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam kalangan keluarga.[20]
Selo Sumardjan mengatakan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah dalam satu nafas karena ketiganya melanggar kaidah-kaidah kejujuran dan norma hukum. Adapaun faktor sosial pendukung KKN adalah : (1) Desintegrasi  (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat sejak revolusi nasional, dan melemahnya batas milik negara dan milik pribadi; (2) Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi orientasi harta, kaya tanpa harta (sugih tanpo bondho) menjadi kaya dengan harta; (3) Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan pembangunan sosial atau budaya; (4) Penyalahgunan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan harta; (5) Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap dalam kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan menjadi kaya (aji mumpung); (6) Pranata-pranata sosial kontrol tidak efektif lagi.
Evi Hartanti menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi dikarenakan lemahnya pendidikan agama dan etika, kolonialisme, kurangnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya sanksi yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi, struktur pemerintahan, perubahan radikal, dan keadaan masyarakat. Namun demikian faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat (Hartanti, 2006).
Menurut Luhut M. Pangaribuan (2002), perilaku koruptif yang terjadi pada hampir semua penegak hukum, bukan karena moral yang rendah namun sebagai akibat terjadinya demoralisasi dari para penegak hukum itu sendiri.  Akibatnya, menerima uang secara tidak halal, menurut persepsi mereka, bukanlah sesuatu yang aneh lagi, akan tetapi menjadi suatu keharusan untuk mereka lakukan. Setidaknya terdapat empat hal faktor penyebab yang dapat dikemukakan dari perilaku koruptif dari para penegak hukum yaitu : (1) Kesejahteraan atau gaji rendah, akan tetapi  life style-nya tinggi; (2) Adanya ketidakpercayaan timbal balik di antara penegak hukum itu sendiri; (3)  Akibat pola korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru; (4) Tidak adanya standar profesi bagi advokat (Luhut, 2002).
Berdasarkan rekomendasi para pakar hukum  Center for The Independence of Judge and Lawyer(CIJL) pada konferensi dua tahunan (17-22 September 2000) di Amsterdam, disimpulkan bahwa  judicial coruptionterjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa, advokat dan hakim). Khususnya jika hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, sikap tunduk kepada campur tangan luar dalam memutuskan perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme,  conflict of interest , kompromi dengan pembela advocat), pertimbangan keliru dalam mutasi, promosi dan pensiun, prasangka memperlambat proses peradilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik (Putu, 2001).[21]
4.      Solusi Amalan Tasawuf (Praktis-Implemetatif)
Tasawuf  sesungguhnya  berbicara  bagaimana  mengembangkan  opini  dan  sikap    preventif  agar  seseorang  tidak berperilaku  eksesif  dalam  menyikapi  harta  kekayaan  dan  dunia  yang mempesona. Tindak korupsi yang merupakan tindak melawan hukum dengan  maksud  memperkaya  diri  sendiri  atau  orang  lain  yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara atau perusahaan, harus segera diberantas dari semua bidang dan sektor. Karena tindak korupsi mengakibatkan  pembangunan  ekonomi  semakin  terpuruk, mempersulit  demokrasi  dan  tata  pemerintahan  yang  baik  (good governance).  Di  antara  langkah-langkah  yang  harus  dilakukan  untuk membunuh  tindak  korupsi  di  bumi  pertiwi  ini,  salah  satunya  adalah dengan  cara  memperbaiki  citra  dan  jati  diri  manusia yaitu  dengan memperbaiki  sikap,  pemikiran  dan  tingkah  laku  manusia  sebagai ummat  beriman,  bertauhid  dan  bertashawwuf.  Shufisme dinamis dapat  dijadikan  sebagai  landasan  moral  dan  etika,  sebagai  salah  satu upaya  preventif  untuk  menghindari  tindak  korupsi.  Karena  di  dalam ajaran  shufisme  dinamis  ditawarkan  mengembangkan  sikap  positif terhadap  dunia,  baik  di  dalam  politik,  sosial,  spiritual  maupun ekonomi  dan  seni.  Maknanya,  shufisme  dinamis  dimaknai  bukan berarti  meninggalkan  segalanya  untuk  berkhalwat,  beruzlah,  hidup zuhud,  qana’ah,  tawakkul,  shabar  dan wara  dalam  interpretasi  yang negatif. Begitu juga berperilaku shufi bukan berarti harus menjauhkan diri dari dunia nyata.  Tashawwuf tahrikijustru mengangkat kemampuan keshufian  justru  di  dalam  dunia,  umpamanya  mampu  memposisikan kerja  sebagai  pengabdian  yang  tulus  dan   mendapatkan  bimbingan pengalaman spiritual di tengah-tengah asyiknya sebuah jabatan dalam suatu  pemerintahan  dan  kekuasaan,  dengan  kemampuan mengembangkan sikap  positif secara dinamis  tehadapdunia, hal itu adalah suatu prestasi yang cukup besar nilainya.
Dengan  pemahaman  shufisme  dinamis  mampu  menuntun manusia  melaksanakan  ajaran  Islam  dengan  sempurna  dan  mencapai al-insan  al-kamil.  Justru  itu,  tugas  besar  seorang  muslim,  mukmin  dan muhsin, dalam memperoleh kebahagiaan hidup menegakkan hubungan sosial, bukan melalui ‘uzlah dan  khalwat  yang  ditakwilkan  dan  dipraktekkan secara pasif.[22] Menghindari hal-hal yang berlebihan, menunjukkan sikap hemat. Sikap sederhana, mengindari hidup berlebihan, kemewahan. Zuhud akan melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang produktif.[23]  Zuhud (asketik) selama ini difahami sebagai anti  keduniaan,  menjauhi  kehidupan  materi dan  menganggap  harta benda sebagai penghalang dalam ibadah. Namun, jika dicermati dalam sejarah shufi, tidak sedikit mereka yang hidup kaya, karena hasil dari penjualan  buah  karya  mereka  yang  banyak  dan  sebagai pedagang, seperti Junaid al-Baghdadi (w.910 M), Muhyiddin al-Ghazali (1059-1111 M), Muhyiddin Ibnu Arabi (1165-1240 M) dan Abdurrahman Shiddiq  al-Banjari  (1857-1938  M  dari  Indragiri  Hilir,  Riau). Nabi Muhammad  Saw  sendiri  sebagai  pedagang  dan  pengembala  kambing yang sukses serta penunggang kuda yang mahir. Justru itu, seharusnya difahami  bahwa  zuhud  adalah  anti  keserakahan,  ketamakan  dan kemalasan.  Zuhud  berarti  meninggalkan  hal-hal  yang  menyebabkan jauh dari Allah, bukan meninggalkan dunia. Dengan demikian, zuhud dinamis dipratekkan oleh mereka yang bekerja keras  dan ingin hidup kaya. Murtadha  Muthahhari  mengemukakan  prinsip  utama  zuhud menciptakan  kebahagiaan  dan  kepuasan  individu  yang  tidak  dapat dipisahkan  dari  masyarakat,  karena  manusia  secara  emosional  terikat dengan  masyarakatnya  dan  mengemban  tanggung  jawab  moral. Kebahagiaan  individu  tidak  bisa  terlepas  dari  kesejahteraan  dan kedamaian  sesama  manusia. Dalam  pandangan  shufisme  dinamis, seorang  zahid  memandang  dunia  dan  akhirat  saling  terkait  secara optimis.  Dunia  merupakan  pintu  menuju  akhirat  dan  dunia  adalah ladang  akhirat. Esensi  kebahagiaan  dan  kepuasan  di  akhirat  terletak pada pemenuhan komitmen dan tanggung jawab moral dialam dunia yang dilakukan dengan penuh kesadaran. [24]
Begitu pula menurut Abuddin Nata, sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.[25]
Menurut  Imam  Ahmad  ibnu  Hanbal  (w.241  H)  terdapat  tiga tingakatan  zuhud  (awam,  khawash  dan  arifin).  Zuhud  awam  yaitu meninggalkan segala yang haram. Zuhud khawash yaitumeninggalkan hal-hal  yang  berlebihan  dalam  perkara  yang  halal.  Sedangkan  zuhud yang  paling  tinggi  adalah  tingkat  arifin  yaitu  orang  yang  mampu meninggalkan apa saja yang dapat memalingkan diri dari Allah Swt. Dari  tingkatan  zuhud  tersebut  dapat  ditangkap  nilai-nilai  yang kondusif untuk upaya menyirnakan kemiskinan, menanggalkan hal-hal yang  haram,  menuntun  orang  mencari  kekayaan  secara  tulus  lewat kerja  keras,  menghindari  suap  menyuap  dan  menciptakan  lapangan pekerjaan  untuk  mengurangi  pengangguran.  Dalam  kaitan  zuhud dalam Islam, apa yang  ditemui Max Weber (1864-1920  M) tidak ada kapitalisme di Timur, tidak ada etika asketis di dalam Islam, dikecam keras  oleh  Bryan  S.Turner,  dalam  karyanya  Sosiologi Islam,  suatu Telaah  Analitis  atas  Tesa  Sosiologi  Weber,  seolah-olah  ia  ingin menciptakan  The  Islamic  Ethic  and  the  Spirit  of  Capitalism (Etika  Islam dan Semangat Kapitalisme), sebagai kembaran dari karya monumental Max Weber  The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Semangat kapitalisme  itu  bersandarkan  kepada  cita  ketekunan, hemat, berperhitungan,  rasional  dan  sanggup  menahan  diri. Maxim Rodinson,  dalam  karyanya  Islam  and  Capitalism,  kecewa  karena sebenarnya  ia  merasa  bahwa  Islam  memiliki  semacam  superioritas dalam  ajarannya,  tapi  superioritas  itu  tidak  muncul dalam  kehidupan empiris.
Sikap  lain  yang  menunjang  mentalitas  anti  korupsi  adalah qana’ah. Qana’ah  dalam shufisme  sering difahami sebagai  sikap  nrimo yaitu  mudah  menyerah  dan  menerima  apa  adanya,  tanpa usaha maksimal. Tuntutan untuk kemajuan dianggap sebagai  hal yang tidak begitu  perlu,  karena  bertentangan  dengan  sikap  nrimo.  Pemahaman seperti  itu  jelas  keliru.  Qana’ah  dalam  pandangan  shufisme  dinamis difahami sebagai sikap yang tulus untuk menerima hasil sesuai dengan kerja  yang  dilakukan,  tidak  serakah,  tidak  menuntut hasil  yang  lebih banyak  dengan  kerja  yang  kecil,  tidak  hasad  dan  tidak  mengkhayal. Produktivitas  sesuai  dengan  kemampuan  dan  tingkat  kerja  yang dilakukan, itulah makna qana’ah. Justru itu, qana’ah adalah salah satu sikap untuk menjadi kaya, namun belum tentu dapat diamalkan oleh orang miskin.[26] Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Jabir RA, yang dikutip dalam buku Tasawuf Kontekstual karangan Amin Syukur, Nabi bersabda, “qona’ah adalah harta yang tidak pernah sirna (al-qona’atu kanzun la yafna)”[27].
Sikap  lainnya  yang  mendukung  anti  korupsi  adalah  tawakkul (sering  ditulis  tawakkal,  mungkin  salah  kafrah,  tapi  yang  benar menurut  penulis  adalah  tawakkul,  mashdar  dari  tawakkala, yatawakkalu  dan  tawakkulan).  Tawakkul  dalam  shufisme  juga  sering diidentikkan  dengan  sikap  pasrah  dan  tanpa  usaha  keras  (fatalis). Pemahaman  demikian  jelas  keliru.  Justru  itu,  tawakkul  seharusnya difahami sebagai sikap akhir setelah bekerja dan berusaha keras secara maksimal  yang  dilakukan  berulang  kali  sebelum  behasil.  Setelah berusaha  keras,  maka  dengan  bekal  tauhid,  fikih   dan  tashawwuf, keberhasilan  akhirnya  tidak  selalu  ditentukan  oleh  dirinya  sendiri. Dengan  sikap  tawakkul  akan  terhindar  dari  sikap  frustrasi,  depressi dan  stress.  Adalah  sangat  keliru  kalau  menempatkan  sikap  tawakkul sebelum adanya upaya maksimal.[28]
Menurut Abuddin Nata, orang yang tawakkal pada Allah, seperti orang yang pada suatu saat menaiki pesawat supersonik dengan kecepatan yang tinggi, tidak akan merasa nyaman dan mengasikkan, jika ia selalu takut jatuh dan mati. Orang demikian akan merasa tenang jika bertawakkal. Ia serahkan urusannya itu pada Tuhan, karena urusan mati memang bukan di tangan manusia. Tugas manusia hanya mengupayakan agar berbagai persyaratan keselamatan penerbangan telah dilakukan, misalnya keadaan mesin pesawat, bahan bakar, kondisi pilotnya, baling-baling penggerak mesin, roda untuk take off dan landing, dan seterusnya.[29]
 Demikian pula dengan para pejabat dan pemenggang amanah bagi masyarakat, dan juga wakil rakyat, yang sudah di sumpah kan dalam pelantikan saat jabatan akan berlangsung, ironisnya banyak yang lalai dengan emban atau amanah yang telah dipikulnya. Sehingga banyaknya oknum-oknum di pemerintahan tidak berjalan dengan syarat-syarat dan ketentuan masing-masing. Dalam buku karangan Elwi Danil, lebih jauh dikatakan, bahwa kedalam tindakan itu termasuk perilaku penyuapan (penggunaan hadiah untuk menyimpangkan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah), nepotisme (menggunakan perlindungan oleh seseorang yang mempunyai hubungan darah atau keturunan daripada berdasarkan kinerja), dan penyalahgunaan (penggunaan secara sah sumber daya milik umum untuk manfaat pribadi).[30]




III.             PENUTUP

Tindakan  korupsi  menurut  tasawuf perlu  disadari sebagai  perbuatan  yang  lebih  buruk  daripada  teroris,  karena  dampak yang  ditimbulkan  dari  perbuatan  korupsi  ternyata  tidak  dapat dipangkas  dalam  hitungan  waktu  (jam,  hari,  bulan  dan  tahun). Penyimpangan  korupsi  terjadi  secara  massif,  berbeda dengan perbuatan  teroris  yang  hanya  dilakukan  oleh  seseorang  atau sekelompok  orang.  Sebagai  dampak  yang  lebih  besar  adalah  korupsi melahirkan  penderitaan  dan  kemiskinan  struktural  dan  kultural  yang berkepanjangan karena banyak hak-hak sipil dirampas. Melukis wajah zahid shufi, Di atas kanvas serban kaci, tasawuf harus mandiri, Menghindari nepotisme dan korupsi.



DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Press, 2012)
Akhmad Hasan Saleh, Sufi Governance (UNIVERSUM, Vol. 9 No. 2 Juli 2015)
Amin Syukur, Tasawuf dan Kritis, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012)
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta, Rajawali Pers, 2015)
Biyanto, Pemberantasan Korupsi, (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 29-56)
http://news.okezone.com/read/2015/03/03/337/1113148/mui-keluarkan-fatwa-hukuman-mati-bagi-koruptor
http://news.okezone.com/read/2015/10/05/18/1226446/inilah-pelaksanaan-hukuman-mati-koruptor-di-china
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi), (Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Agustus 2006)
M. Arrafie Abduh, Tasawuf Tahriki; Anti Korupsi, (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Suska Riau, Al-Fikra:Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli Desember 2011)
M. Syamsudin, Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum, (UNISIA, V ol. XXX No. 64 Juni 2007)



[1] Elwi Danil, KORUPSI: Konsep, Tindak Pidana dan Perkembangannya, (Jakarta, PT Raja Grfindo Persada, 2014), hlm. 3
[2] M. Arrafie Abduh, Tasawuf Tahriki; Anti Korupsi, (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Suska Riau, Al-Fikra:Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli Desember 2011), hlm. 364-365
[3] Ibid, hlm. 365-366
[4]http://news.okezone.com/read/2015/03/03/337/1113148/mui-keluarkan-fatwa-hukuman-mati-bagi-koruptor
[5]http://news.okezone.com/read/2015/10/05/18/1226446/inilah-pelaksanaan-hukuman-mati-koruptor-di-china
[6] M.Syamsudin, Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum, (UNISIA, V ol. XXX No. 64 Juni 2007), hlm. 185
[7] Akhmad Hasan Saleh, Sufi Governance (UNIVERSUM, Vol. 9 No. 2 Juli 2015), hlm. 233
[8] Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi), (Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Agustus 2006), hlm. 3
[9] Ibid, hlm. 9
[10] M.Syamsudin, Op cit, hlm. 186
[11]Biyanto, Pemberantasan Korupsi, (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 29-56), hlm. 55.
[12] Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: (1) Setiap orang yang merasa melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit Rp. 200.000.000,00- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00- (satu miliyar rupiah). (2) dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Op cit, hlm. 9
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta, Rajawali Pers, 2015) hlm. 9-10
[16]  Ibid, hlm. 11-12
[17] Ibid, hlm. 14
[18] Ibid, hlm. 115-16
[19] Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/)
[20] Ibid, hlm. 20-21
[21] M.Syamsudin, Op cit, hlm. 188
[22] M. Arrafie Abduh, Op cit, hlm. 380
[23] Amin Syukur, Tasawuf dan Kritis, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 44
[24] M. Arrafie Abduh, Op cit, hlm. 379-380
[25] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Press, 2012), hlm. 299
[26] M. Arrafie Abduh, Op cit, hlm. 382
[27] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 14
[28] M. Arrafie Abduh, Op cit, hlm. 382
[29] Abuddin Nata, Op cit,  hlm. 298
[30] Elwi Danil, Op cit, hlm. 101-102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar