MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas :
Mata
kuliah : Studi Al Qur’an Integratif
Dosen
Pengampu : Dr. H. Makrum Kholil, M. Ag
Oleh:
MUHAMMAD
ZULQORNEIN
2052115064
PROGRAM
PASCASARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2016
I.
PENDAHULUAN
Al Qur’an
merupakan firman Allah
SWT (kalamullah) yang diwahyukan kepada nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril untuk dijadikan
pedoman hidup (way of life) bagi
makhluknya di setiap ruang dan waktu. Al Qur’an juga secara eksplisit berfungsi
sebagai Hudan li
al Nas yang
akan mengantarkan dan mengarahkan manusia ke jalan yang lurus.
Namun, ajaran yang terkandung
dalam al Qur’an tidaklah dapat serta
merta bisa dipahami
secara jelas. Hal
ini disebabkan oleh faktor
al Quran itu
sendiri maupun faktor
luar al Qur’an, seperti ke-mujmal-an al
Qur’an yang menyebabkan
banyak ayat yang mutasyabihat,
lafadz musytarak (lafadz yang memiliki makna ganda), gharabah
al lafdzi (lafadz
yang masih asing),
al hadf (penggabungan lafadz),
ikhtilaf marji‟ al
dhamir (adanya perbedaan
tempat kembalinya kata ganti), al taqdim wa al ta‟khir (lafadz yang
di dahulukan dan yang
di akhirkan ),
maupun kekeliruan penafsiran al Qur’an.
Dengan demikian,
dalam memahami al
Qur’an sangatlah dibutuhkan ilmu
tersendiri, yang dikenal
dengan ulumul Qur‟an.[1]
Salah satu keunikan yang ditemukan dalam Alqur’an, terletak pada segi metode
pengajaran dan penyampaian pesan-pesannya ke dalam jiwa manusia. Metode
penyampaian pesan-pesan tersebut adalah metode yang paling singkat, mudah, dan
jelas. Metode pengajaran Alqur’an bermacam-macam pula; satu di antaranya adalah
metode penyampaian melalui ungkapan matsal (perumpamaan, permisalan;
jamak: amtsal) terhadap hal-hal yang bersifat sangat mendasar dan
bersifat abstrak.[2] Atas dasar
hal tersebut penulis
bermaksud menjelaskan sedikit
tentang amtsal al Qur‟an dari segi pengertian, macam-macam, faedah-faedahnya, tujuan dan
urgensinya.
II.
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
Pembahasan tentang amstal Al-Qur’an
tidak dapat dilepaskan dari bahasa Arab karena Alqur’an diturunkan dalam bahasa
tersebut. Dengan demikian maka diketahuilah bahwa lafal amtsal ((امسثال jamak dari matsal (
(مثل.
Dari sudut etimologis, kata ini sama dengan amstilat ((امثلة jamak dari mitsl (مثال)dan mitsal (مثل). Yakni sama-sama berasal dari م ث ل yang menurut al-Zamakhsyari yang di kutip
Nasrudin Baidan, matsal bermakna mitsl artinya bandingan. Dalam
pemakian sehari-hari di kalangan masyarakat Indonesia, kata ini berkonotasi
perumpamaan, bandingan, contoh, dan lain-lain. Konotasi tersebut dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dirumuskan: “misal: sesuatu yang menggambarkan
sebagian dari keseluruhan”.[3]
Secara terminologis para ahli
bahasa Arab memakaikan kata amtsal untuk menunjuk: 1) kepada suatu
keserupaan antara dua variabel yang berbeda akan tetapi ada titik sama yang
mempertemukan dua hal yang berbeda itu. Ungkapan serupa itu mereka masukkan
kedalam apa yang disebut dengan tasybih tamtsili ) (تشبيه تمثلى seperti;
وَمَا المَلَ وَاْلأهْلُونَ إلّا وَدَائِعُ + وَلَا بُدَّ يَومَا أنْ تُرْدُّ
الْوَدَائِعُ
(tiadalah
harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan + pada suatu hari titipan itu
pasti akan dikembalikan).
Jelas terlihat dalam syair itu
bahwa penyair menyerupakan harta kekayaan dan sanak famili dengan benda titipan
yang dititipkan seseorang kepada kita. Apabila pada suatu waktu kekayaan yang
miliki habis, atau kita ditinggalkan oleh sanak keluarga, maka kondisi yang
demikian jangan terlalu disedihkan sebab ibarat harta titipan dia memang harus
dikembalikan pada suatu waktu kepada pemiliknya; dan 2) untuk menunjuk kepada
pepatah atau peribahasa yakni suatu ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan
keserupaan suatu kondisi dengan kondisi yang lain yang diserupakan kepadanya, seperti
قطعت جهيزة قول
كل خطيب (jahizah
memutuskan semua pembicaraan).
Ungkapan di atas digunakan kepada
setiap pendapat atau ide yang dapat menyelesaikan permasalahan yang rumit yang
sulit dicarikan pemecahannya.[4]
Dikatakan pula dalam buku karangan
Manna Khalil Al Qattan, bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi
penggambaran keadaan suatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu
dengan cara isti’arah maupun dengan tasybih sarih (penyerupaan
yang jelas); atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi
ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai
dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab Allah mengungkapkan ayat-ayat
itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.[5]
2.
MACAM-MACAM AMTSAL AL-QUR’AN
Di kalangan para ulama terdapat
perbedaan tentang macam-macam amtsal al-Qur’an. Adanya tersebut
disebabkan banyak beragamnya amtsal dalam al-Qur’an, baik yang secara
eksplisit menggunakan kata matsal, atau yang tidak menggunakannya.[6]
Penulis sedikitnya memberikan perbedaan tentang macam-macam amstal
Al-qur’an.
Nasaruddin Baidan mengatakan
bahwa secara garis besarnya ada dua macam amtsal Al-qur’an. Pertama
disebut secara jelas dan tegas. Sesuatu yang disebut secara jelas diistilahkan
oleh al-Suyuthi dalam buku Nasaruddin baidan[7]
dan sama dengan pendapat Muhammad Jabir al-Fayad dalam buku Mahfud Masduki,
yakni matsal zhahirah; dan yang kedua disebutnya matsal al-kaminah
(tersirat)[8]. Sedangkan
Manna Khalil Al Qattan membagi amtsal di dalam Alqur’an terdiri dari
tiga macam; amsal musarrahah, amsal kaminah dan amsal mursalah[9].
Apabila diamati dengan seksama
pembagian amtsal Alqur’an yang di kemukakan oleh al-Suyuthi di atas maka
diperoleh gambaran bahwa dalam Alqur’an itu ada matsal dalam arti
merupakan dua hal yang berbeda, akan tetapi ada titik kesamaan dalam
aspek-aspek tertentu. Ini disebut dengan tasybih tamtsili; dan yang
kedua dalam arti peribahasa atau pepatah; atau apa yang disebut dengan amtsal
kaminat yang menurut al-Qattan ialah amtsal yang tidak disebut di
dalamnya lafal tamtsil secara tegas, namun ia menunjuk kepada makna yang
indah dalam ungkapan singkat dan tepat.
Di antara ayat al-Qur’an yang
menggambarkan tasybih tamtsili, yakni
مَّثَلُ
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. ( Al-Baqarah, 162)
Suatu keberuntungan yang sangat besar yang akan diperoleh oleh mereka
yang menginfakkan harta di jalan Allah; yaitu dengan menanamkan satu modal,
maka ia akan menghasilkan keuntungan sampai 700. Itu berarti sama dengan
memakai matsal, yakni menyerupakan pekerjaan berinfak itu dengan seorang
yang menanamkan sebutir biji, kemudian biji yang satu itu menumbuhkan tujuh tangkai;
dan pada setiap tangkai berisi 100 (seratus) buah. Jadi jumlahnya mencapai
tujuhratus.[10]
Adapun
ayat-ayat Alqur’an yang dapat dikategorikan sebagai bernada (ber-uslub)
peribahasa antara lain surat an-nisa’ ayat 123, مَنْ يَعْمَلْ سُوْءَا يُجْزَبِهِ(siapa
saja yang berbuat buruk niscaya dibalasi dengan keburukan pula).
Dikalangan masyarakat manusia juga populer ungkapan “siapa menggali
lubang dialah yang menimbunnya”. Meskipun Alqur’an tidak pantas disebut pepatah
tapi dari sudut gaya bahasa (uslub) tidak salah bila dikatakan bahwa
kitab suci itu juga membawa susunan redaksi yang mirip dengan yang berlaku di
kalangan umat. Agaknya pola susunan serupa itu sengaja dibuat Tuhan agar terasa
secara mendalam dalam benak si pembaca dan pendengar bahwa Alqur’an sangat
indah dan serasi sekali serta dengan situasi dan kondisi mereka. Apabila dalam
bahasa mereka ada matsal, ada tasybih, dan sebagainya, maka
Alqur’an ada pula hal-hal serupa itu dari segi bentuk dan susunan bahasanya
meskipun sedikit berbeda manfaat dan tujuannya bila dibandingkan dengan apa
yang mereka pakai dalam berkomunikasi sesama mereka.[11]
Dan pula dalam karangan Manna
Khalil Al Qattan, sesuatu yang menunjukan tasybih. Amtsal ini banyak ditemukan
dalam al-Qur’an seperti;
a.
Firman Allah swt. mengenai orang-orang munafiq yaitu :
مَثَلُهُمۡ
كَمَثَلِ ٱلَّذِي ٱسۡتَوۡقَدَ نَارٗا فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ
بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِي ظُلُمَٰتٖ لَّا يُبۡصِرُونَ ١٧ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡيٞ
فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ ١٨ أَوۡ كَصَيِّبٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ فِيهِ ظُلُمَٰتٞ وَرَعۡدٞ
وَبَرۡقٞ يَجۡعَلُونَ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِم مِّنَ ٱلصَّوَٰعِقِ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِۚ
وَٱللَّهُ مُحِيطُۢ بِٱلۡكَٰفِرِينَ ١٩ يَكَادُ ٱلۡبَرۡقُ يَخۡطَفُ أَبۡصَٰرَهُمۡۖ
كُلَّمَآ أَضَآءَ لَهُم مَّشَوۡاْ فِيهِ وَإِذَآ أَظۡلَمَ عَلَيۡهِمۡ قَامُواْۚ
وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمۡعِهِمۡ وَأَبۡصَٰرِهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٢٠
Artinya :
“perumpamaan (matsal) mereka
adalah seperti orang yang
menyalakan api, maka
setelah api itu menerangi
sekelilingnya Allah swt. menghilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka dan
membiarkan mereka dalam kegelapan, dan tidak dapat melihat.
Mereka tuli dan buta, tidaklah
mereka akan kembali
(ke jalan yang benar)
atau seperti (oang-orang yang ditimpa)
hujan lebat dari
langit disertai gelap gulita,
guruh dan kilat...
... –sampai dengan- sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu (al-Baqarah ayat 17-20).
Dalam ayat ini
Allah membuat dua
perumpamaan (matsal) bagi orang
munafiq, matsal yang
berkenaan dengan api, karena di dalam api terdapat unsur
cahaya, dan matsal yang berkenaan dengan air
atau seperti (orang-orang
yang ditimpa) hujan lebat dari langit, karena di dalam air terdapat unsur kehidupan.
Dan wahyu yang
turun dari langitpun bermaksud untuk
menerangi hati dan
kehidupannya. Allah swt menyebutkan
juga keadaan dan
fasilitas orang-orang munafiq
dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka
bagaikan orang-orang yang
menyalakan api untuk penerangan
dan kemanfaatan mengingat
mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam.
Namun disisi lain
Islam tidak memberikan
pengaruh “nurNya” terhadap
hati mereka. Karena
Allah swt menghilangkan cahaya
(yang menyinari mereka)
dan membiarkan unsur membakar
yang ada padanya.
Inilah perumpamaan mereka yang
berkenaan dengan api.
Mengenai matsal mereka yang
berkenaan dengan air , Allah swt menyerupakan
mereka dengan keadaan
orang yang ditimpa hujan
lebat yang disertai
gelap gulita, guruh
dan kilat. Sehingga terkoyaklah kekuatan
orang itu dan ia
meletakan jarinya untuk menutup
telinga dan memejamkan mata karena
takut petir menimpanya.
Inilah mengingat bahwa al-Qur’an
dengan segala peringatan,
larangan, dan kitabnya
mereka tidak ubahnya
dengan petir yang
sambar-menyambar.
b.
Allah menyebutkan pula dua macam matsal, al-ma’i dan nari dalam
surat al-Rad ayat 17, bagi
yang haq dan
batil, yaitu :
Artinya :
“Allah telah menurunkan
air (hujan) dari
langit, maka mengalirlah air
dilembah-lembah menurut
ukurannya, maka arus
itu membawa buih yang mengambang.
Dan dari apa (logam) yang mereka lebur
dari dalam api
untuk membuat perhiasan atau
alat-alat, ada (pula) buihnya seperti
buih arus itu.
Demikianlah Allah SWT. membuat perumpamaan (mitsal) bagi yang haq
dan batil. Adapun
buih itu akan hilang sebagai sesuatu
yang tidak ada harganya.
Adapun yang memberi
manfaat kepada manusia, maka
ia tetap di bumi.
Demikianlah Allah SWT. membuat perumpamaan tersebut”. (Ar Ra’d (13); 17)[12]
Amstal kaminah, yang menunjukkan
didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisahan) tetapi ia
menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam keadaan redaksinya, dan
mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya.
Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, diantaranya:
a.
Ayat-ayat yang senada
dengan perkataan, (sebaik-baik urusan
adalah pertengahannya). Yaitu seperti dalam firman Allah, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1)
Surat al-Baqarah ayat 68 tentang sapi betina.
Artinya :”Sapi
betina yang tidak
tua dan tidak muda, pertengahan antara itu “.
2)
Surat al-Furqan ayat 67 tentang nafkah.
Artinya :
“Dan mereka yang apabila membelanjakan (harta)
mereka tidak lebih-lebihan dan
tidak pula kikir
dan pembelanjaan itu ditengah-tengah antara yang demikian itu”.
b.
Ayat-ayat yang senada
dengan perkataan. Seperti
: (khabar itu tidak
sama dengan menyaksikan sendiri
), misal firman Allah swt. tentang Ibrahim dalam surat al Baqarah ayat
260.
Artinya :
”Allah berfirman, apakah
kamu belum percaya? Ibrahim menjawab;
saya telah percaya, akan tetapi
agar bertambah teguh hati saya”.
c.
Ayat yang senada dengan perkataan (sebagaiman kamu menghutangkan, maka
kamu akan dibayar),
seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 123.
Artinya : “Barang siapa
mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu”.
d.
Ayat yang senada dengan perkataan ( orang mukmin tidak akan disengat dua
kali dari lubang yang sama). Misalnya firman Allah SWT melalui lisan Ya’qub
dalam surat Yusuf ayat 64;
Artinya :
“Bagaimana aku mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah
mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu”.[13]
Amtsal Mursalah, yakni kalimat-kalimat bebas
yang tidak menggunakan lafadh tasybih secara
jelas. Tetapi
kalimat-kalimat itu berlaku
secara matsal, seperti firman Allah swt. yaitu ;
a.
Surat al-Baqarah ayat 216
“Boleh jadi
kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu”.
b.
Surat al-Baqarah ayat 249
“Betapa
banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak
dengan izin Allah”.
c.
Surat al-Hasyar ayat 14
“kamu kira
mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah”.
3.
FAEDAH-FAEDAH AMTSAL
Apabila di amati berbagai amtsal
Alqur’an maka ditemukan bahwa pengungkapan amtsal tersebut
mengandung bermacam-macam faedah; bahkan al-Qathtan sampai menyebutkannya
sebanyak delapan buah.[14]
Dan al khidr Husayn dalam buku Nasruddin
Baidan, menyimpulkan menjadi tujuh buah.[15]
Terlepas dari perbedaan pendapat
itu, yang jelas amtsal Alqur’an mengandung banyak faedah. Namun secara
kasar faedah-faedah tersebut dapat dikategorikan kepada dua kelompok besar:
pertama faedah umum, dan kedua faedah khusus. Yang dimaksud faedah umum adalah amtsal
yang menggambarkan berita yang abstrak dalam bentuk kongkret sehingga
seakan-akan dapat diraba atau dipegang seperti perumpamaan Alqur’an terhadap
hapusnya pahala berinfak bagi mereka yang riya dengan menggambarkan bagaikan
batu licin yang permukaannya tertutup oleh tanah. Kemudian datang hujan lebat
menimpanya, maka habislah semua tanah itu dari atas batu tadi. Inilah yang
digambarkan Tuhan dalam ayat 264 dari Al-Baqarah yang berbunyi:
فَمَثَلُهُۥ
كَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَيۡهِ تُرَابٞ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٞ فَتَرَكَهُۥ صَلۡدٗاۖ
لَّا يَقۡدِرُونَ عَلَىٰ شَيۡءٖ مِّمَّا كَسَبُواْۗ ... ٢٦٤
“Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.”
Tampak
dengan jelas dari perumpamaan itu, pahala yang sangat abstrak dan tak mungkin
tercapai oleh indera manusia dapat tergambar secara gamblang, sehingga
seakan-akan dapat dipegang dengan tangan dan dilihat oleh mata. Di sinilah
terletak suatu keindahan bahasa dengan menggunakan kalimat amtsal. Banyak
ayat Alqur’an yang menggambarkan hal-hal yang sangat abstrak dengan menggunakan
bentuk amtsal seperti penggambaran Alqur’an terhadap kehidpan kelak;
baik kehidupan mereka yang memperoleh nikmat dalam surga, maupun mereka yang
diazab dalam nereka. Hal-hal yang sangat abstrak serupa itu dapat
diinformasikan kepada umat manusia secara gamblang dan meyakinkan dengan
mengunakan uslub amtsal.[16]
Adapun yang dimaksud dengan faedah khusus ialah kandungan kalimat atau
ungkapan ayat yang mengandung amtsal itu membawa pesan khusus yang tidak
ada pada kalimat amtsal yang lain; antara lai sebagai berikut:
1.
Untuk menimbulkan minat dalam beribadah seperti berinfak, sehingga umat
tidak segan-segan membelanjakan harta mereka di jalan Allah demi meraih
keuntungan yang berlipat ganda seperti dicontohkan dalam al-Baqarah ayat 261;
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”
2.
Untuk membuat seseorang lari dari perumpamaan yang disebut dalam ayat,
karena perumpamaan tersebut termasuk yang dibenci oleh tabiat seperti memakan
daging dari bangkai saudaranya sendiri sebagaimana digambarkan Alqur’an dalam
ayat 12 dari al-Hujarat:
وَلَا
يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ
مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ ... ١٢
(dan
janganlah sebagian kamu menggunjing (aib) sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya).
3.
Untuk memuji sesuatu yang dicontohkan (al-mumatsal) seperti pujian
Allah bagi para sahabat Rasul Allah dalam ayat 29 dari surat al-Fath sebagai
berikut:
Artinya :
(demikianlah sifat-sifat mereka di dalam Taurat dan di dalam Injil; yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya
(batangnya). Tanaman itu membuat kagum penanam-penanamanya; (sebaliknya) orang-orang
kafir menjadi jengkel dan gigit jari).
Ayat diatas menggambarkan perkembanagan sahabat Rasul Allah yang pada
mulanya dalam kondisi yang amat lemah karena jumlah mereka sangat kecil, boleh
dihitung dengan jari (tak sampai sepuluh orang). Kemudian jumlah tersebut terus
meningkat, akhirnya menjadi suatu masyarakat muslim setelah mereka pindah ke
Madinah. Perkembangan yang demikian pesat membuat hati mereka senang dan bangga
sebagai muslim; sementara kaum kafir semakin geram dan marah melihat umat Islam
semakin kuat dan tangguh. Ini terbukti, penaklukan Mekkah 8 H. Disaksikan
sekitar sepuluh ribu sahabat Rasul Allah. Ini betul-betul suatu jumlah yang
sangat menakjubkan sebab tak sampai sepuluh tahun berselang jumlah mereka sudah
demikian ramai, padahal di awal dakwah Rasul Allah jumlah tersebut tak sampai
sepuluh orang sebagaimana telah disebut.
Jumlah yang demikian besar dipuji karena tak mungkin hal yang dicapai
tanpa kesabaran dan ketabahan mereka dalam berjuang meninggikan kalimat tauhid.[17]
4.
Untuk mencela. Ini terjadi bila menjadi perumpamaan itu sesuatu yang
dianggap buruk oleh manusia seperti menyerupakan seseorang ‘alim dengan anjing
karena si ‘alim itu tak mampu mengendalikan hawa nafsunya lalu ia melakukan
perbuatan tercela sebagaimana digambarkan Allah dalam ayat 176 dari al-A’raf
yang berbunyi;
وَلَوۡ
شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ
هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ
تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَاۚ
... ١٧٦
176.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya
yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami.
Anjing adalah jenis hewan yang terburuk, bahkan di pandang sebagai najis
yang amat berat oleh agama, sehingga bila bejana yang dijilatnya, wajib dicuci
tujuh kali, dan salah satunya dengan tanah seperti ditegaskan dalam hadits
Rasul Allah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairat; “Apabila anjing minum pada
bejana salah seorang di antara kamu, maka hendaklah bejana itu dicuci tujuh
kali”; dan pada riwayat lain dikatakan; “Untuk membersihkan bejanamu
bila dijilat anjing ialah dengan membasuh tujuh kali, satu di antaranya dengan
tanah”. Dengan dijadikannya anjing tersebut sebagai perumpamaan seperti
dalam ayat tadi, maka sekaligus menggambarkan betapa tercelanya orang yang
bersifat seperti itu karena ia diserupakan dengan hewan yang keji dan hina.
5.
Untuk menjadi hujjah (argumen) atas kebenaran seperti dalam firman Allah
dalam ayat 75 dari al-Nahl yang berbunyi;
۞ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا عَبۡدٗا مَّمۡلُوكٗا لَّا يَقۡدِرُ عَلَىٰ
شَيۡءٖ وَمَن رَّزَقۡنَٰهُ مِنَّا رِزۡقًا حَسَنٗا فَهُوَ يُنفِقُ مِنۡهُ سِرّٗا
وَجَهۡرًاۖ هَلۡ يَسۡتَوُۥنَۚ ... ٧٥
75.
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak
dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik
dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan
secara terang-terangan, adakah mereka itu sama?
Ayat di atas menggambarkan betapa tidak berdayanya berhala-berhala yang mereka
sembah. Kondisi yang demikian ibarat budak yang tak punya apa-apa serta tak
punya wewenang sedikitpun; jangankan atas pihak lain di luar dirinya, bahkan
atas dirinya pun dia tidak berwenang. Sebaliknya seorang yang bukan budak, dan
Tuhan beri dia kelapangan rezeki yang berlimpah, maka ia dapat berinfak sesuka
hatinya baik secara tersembunyi atau terang-terangan. Jadi jelas tidak sama
karena yang pertama sangat lemah dan sedikit pun tidak berdaya; sedang yang
kedua amat kuat dan mempunyai wewenang penuh sehingga ia dapat berbuat leluasa.
Begitulah perumpamaan antara ketidakberdayaan berhala jika dibandingkan dengan
kemahakuasaan Allah. Jadi matsal serupa ini berfungsi sebagai hujjah
atas kebenaran yang hak dan kebatalan yang batil.[18]
4.
TUJUAN AMTSAL
Tujuan amtsal, yakni agar umat
manusia mengambil pelajaran darinya. Artinya, contoh yang baik untuk dijadikan
teladan, sebaliknya perumpamaan yang jelek agar dapat berusaha menghindarinya.
Dalam kaitan ini firman Allah:
وَلَقَدۡ
ضَرَبۡنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ مِن كُلِّ مَثَلٖ لَّعَلَّهُمۡ
يَتَذَكَّرُونَ ٢٧
“Sesungguhnya
telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan
supaya mereka dapat pelajaran” (As Zumar ayat 27)
وَتِلۡكَ
ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
“Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir” (Al-Hashr, ayat 21)
Jadi jelaslah tujuan pengungkapan amtsal tersebut ialah agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan sehingga
mereka terbimbing ke jalan yang benar demi meraih bahagia dunia akhirat.[19]
5.
URGENSI AMTSAL
Telah disinggung bahwa faedah
umum dari matsal adalah dapat memvisualisasikan hal-hal yang bersifat
abstrak.
Apabila kita amat secara seksama
memvisualisasikan hal-hal yang bersifat abstrak kadang-kadang dirasa amat
penting. Apabila dalam upaya menyampaikan suatu informasi untuk menyeru orang
lain agar tergugah untuk mengikuti apa yang dianjurkan. Seandainya kondisi
abstrak tidak di jelaskan dalam bentuk figur yang dapat dibayangkan atau
dipahami maka akan terlalu sukar bagi audiens (pendengar) menyerap isi
pembicaraan; apalagi bila yang dibicarakan itu hal-hal yang sangat abstrak
seperti surga, neraka, alam barzakh, dan sebagainya yang berhubungan dengan
alam akhirat. Di sinilah terletak salah satu peran penting dari amtsal Alqur’an
karena dengan memakai amtsal, maka hal-hal yang gaib dapat digambarkan
seakan-akan hadir dihadapan kita. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi
pembaca dan pendengar memahami dan menghayati pesan-pesan yang disampaikan oleh
Allah. Alqur’an sebagaimana diketahui ialah kitab hidayah yang selalu
memberikan bimbingan yang dinamis dan segar kepada umat; dan dengan adanya amtsal
dalam kitab suci tersebut, maka terasa sekali sangat pentingnya kajian ini
sehingga kandungnya dengan cara yang tidak terlalu sukar dan sekaligus dapat
membuat mereka tertarik serta tidak membosankan. Berbagai ayat Alqur’an yang
telah dikemukakan di atas yang berisi amtsal cukup menjadi bukti atas
kebenaran penelitian ini.[20]
Tertera dalam karangan Manna
Khalil Al Qattan harus hati-hati menggunakan matsal, Sebagaimana telah
menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amtsal di tempat-tempat yang
kondisinya serupa atau sesuai dengan isi
amtsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan
manusia yang telah berlaku sebagai matsal, maka para ulama tidak
menyukai penggunaan ayat-ayat Qur’an sebagai matsal. Mereka tidak
memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat amtsal dalam
Kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi. Hal ini demi menjaga
keagungan Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.[21]
III.
PENUTUP
A.
Simpulan
Amtsal (permisalan, perumpamaan) sesuatu kerangka
yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan ataupun yang
mati, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang nyata, yang
abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang
serupa. Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik, dan
mempesona oleh amtsal. Karena itulah maka amstal lebih dapat mendorong
jiwa untuk lebih mudah memahami dan menerima makna yang dimaksudkan. Serta amstal
termasuk salah satu uslub Alqur’an dalam mengungkapkan berbagai
penjelasan dan segi-segi kemukjizatan.
Disamping itu amtsal Alqur’an
banyak mengandung pelajaran (faedah-faedah) dan hikmah yang dapat kita petik
sebagai bahan perenungan dalam menghayati arti hidup menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ali,
Fungsi Perumpamaan Dalam Al-Qur’an, Jurnal Tarbawiyah Volume 10 Nomor
2 Edisi Juli-Desember 2013
Abd Rahman
Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2014)
Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011).
Manna Khalil
Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor, PT. Pustaka
litera AntarNusa, 1987).
Mahfudz
Masduki, Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab (Kajian atas amtsal Al-Qur’an),
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012).
[1] Muhammad
Ali, Fungsi Perumpamaan Dalam Al-Qur’an, Jurnal Tarbawiyah Volume
10 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2013,
hlm. 21-22
[2] Abd
Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta, Sinar Grafika Offset,
2014), hlm. 146
[3]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 248
[4] Ibid,
hlm.249
[5] Manna
Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor, PT.
Pustaka litera AntarNusa, 1987), hlm. 400
[6] Mahfudz
Masduki, Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab (Kajian atas amtsal Al-Qur’an), (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 42-43
[7]
Nashruddin Baidan, Op cit, hlm. 251
[8] Al
amtsal azh-zhahirah, yaitu matsal yang secara eksplisit menggunakan kata
matsal, baik dalam bentuk tasybih maupun muqaranah, baik dalam
bentuk ungkapan ringkas dan pendek maupun dalam bentuk uraian cerita yang
panjang. Dan Al-amtsal al-Kaminah,
matsal ini sebenarnya hampir sama dengan Al amtsal azh-zhahirah, hanya
saja tidak secara eksplisit mencantumkan kata matsal. Dengan pengertian
ini, maka semua kisah dalam al Qur’an dapat dipandang sebagai amtsal
kaminah. Ibid, hlm. 43
[9] (a) Amtsal
musarrahah, ialah yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau
sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsar seperti ini banyak ditemukan dalam al
Qur’an. (b) amtsal kaminah, yaitu yang di dalamnya tidak disebutkan
dengan jelas tamsil (pemisahan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang
indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri
bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. (c) amtsal mursalah,
yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas.
Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal. Manna Khalil Al Qattan, Op cit,, hlm
401-404
[10]
Nashruddin Baidan, Op cit, hlm. 252
[11] Ibid,
hlm. 252-253
[12] Manna
Khalil Al Qattan, terj. Mudzakir AS, Op cit,, hlm 401-402
[13] Manna
Khalil Al Qattan, terj. Mudzakir AS, Op cit, hlm 403-404
[14] Ibid,
hlm. 406
[15]
Nashruddin Baidan, Op cit, hlm. 254
[16] Ibid,
hlm 255.
[17] Ibid,
hlm 257.
[18] Ibid,
hlm 258
[19] Ibid,
hlm 259.
[20] Ibid,
hlm 260
[21] Manna
Khalil Al Qattan, terj. Mudzakir AS, Op cit, hlm 408
Tidak ada komentar:
Posting Komentar