Sabtu, 28 Mei 2016

AL- AMTSILAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN



MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas :
Mata kuliah                    :           Studi Al Qur’an Integratif
Dosen Pengampu           :           Dr. H. Makrum Kholil, M. Ag




 












Oleh:
MUHAMMAD ZULQORNEIN
2052115064



PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016
I.                   PENDAHULUAN
Al  Qur’an  merupakan  firman  Allah  SWT  (kalamullah) yang  diwahyukan kepada  nabi  Muhammad  SAW   melalui malaikat Jibril untuk dijadikan pedoman hidup  (way of life) bagi makhluknya di setiap ruang dan waktu. Al Qur’an juga secara eksplisit  berfungsi  sebagai  Hudan  li  al  Nas  yang  akan mengantarkan dan mengarahkan manusia ke jalan yang lurus.
Namun, ajaran yang terkandung dalam al Qur’an tidaklah dapat serta  merta  bisa  dipahami  secara  jelas.  Hal  ini  disebabkan oleh  faktor  al  Quran  itu  sendiri  maupun  faktor  luar  al  Qur’an, seperti  ke-mujmal-an  al  Qur’an  yang  menyebabkan  banyak  ayat yang mutasyabihat, lafadz  musytarak  (lafadz yang memiliki makna ganda),  gharabah  al  lafdzi  (lafadz  yang  masih  asing),  al  hadf (penggabungan  lafadz),  ikhtilaf  marji‟  al  dhamir  (adanya perbedaan tempat kembalinya kata ganti), al taqdim wa al ta‟khir (lafadz  yang  di  dahulukan  dan  yang  di  akhirkan  ),  maupun kekeliruan penafsiran al Qur’an.
Dengan  demikian,  dalam  memahami  al  Qur’an  sangatlah dibutuhkan  ilmu  tersendiri,  yang  dikenal  dengan  ulumul  Qur‟an.[1] Salah satu keunikan yang ditemukan dalam Alqur’an, terletak pada segi metode pengajaran dan penyampaian pesan-pesannya ke dalam jiwa manusia. Metode penyampaian pesan-pesan tersebut adalah metode yang paling singkat, mudah, dan jelas. Metode pengajaran Alqur’an bermacam-macam pula; satu di antaranya adalah metode penyampaian melalui ungkapan matsal (perumpamaan, permisalan; jamak: amtsal) terhadap hal-hal yang bersifat sangat mendasar dan bersifat abstrak.[2] Atas  dasar  hal  tersebut  penulis  bermaksud  menjelaskan sedikit tentang amtsal  al  Qur‟an dari  segi pengertian,  macam-macam, faedah-faedahnya, tujuan dan urgensinya.




II.                PEMBAHASAN

1.      PENGERTIAN
Pembahasan tentang amstal Al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari bahasa Arab karena Alqur’an diturunkan dalam bahasa tersebut. Dengan demikian maka diketahuilah bahwa lafal amtsal ((امسثال jamak dari matsal ( (مثل. Dari sudut etimologis, kata ini sama dengan amstilat ((امثلة jamak dari mitsl    (مثال)dan mitsal (مثل). Yakni sama-sama berasal dari م ث ل yang menurut al-Zamakhsyari yang di kutip Nasrudin Baidan, matsal bermakna mitsl artinya bandingan. Dalam pemakian sehari-hari di kalangan masyarakat Indonesia, kata ini berkonotasi perumpamaan, bandingan, contoh, dan lain-lain. Konotasi tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dirumuskan: “misal: sesuatu yang menggambarkan sebagian dari keseluruhan”.[3]
Secara terminologis para ahli bahasa Arab memakaikan kata amtsal untuk menunjuk: 1) kepada suatu keserupaan antara dua variabel yang berbeda akan tetapi ada titik sama yang mempertemukan dua hal yang berbeda itu. Ungkapan serupa itu mereka masukkan kedalam apa yang disebut dengan tasybih tamtsili ) (تشبيه تمثلى seperti;
وَمَا المَلَ وَاْلأهْلُونَ إلّا وَدَائِعُ + وَلَا بُدَّ يَومَا أنْ تُرْدُّ الْوَدَائِعُ
(tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan + pada suatu hari titipan itu pasti akan dikembalikan).
Jelas terlihat dalam syair itu bahwa penyair menyerupakan harta kekayaan dan sanak famili dengan benda titipan yang dititipkan seseorang kepada kita. Apabila pada suatu waktu kekayaan yang miliki habis, atau kita ditinggalkan oleh sanak keluarga, maka kondisi yang demikian jangan terlalu disedihkan sebab ibarat harta titipan dia memang harus dikembalikan pada suatu waktu kepada pemiliknya; dan 2) untuk menunjuk kepada pepatah atau peribahasa yakni suatu ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan keserupaan suatu kondisi dengan kondisi yang lain yang diserupakan kepadanya, seperti قطعت جهيزة قول كل خطيب  (jahizah memutuskan semua pembicaraan).
Ungkapan di atas digunakan kepada setiap pendapat atau ide yang dapat menyelesaikan permasalahan yang rumit yang sulit dicarikan pemecahannya.[4]
Dikatakan pula dalam buku karangan Manna Khalil Al Qattan, bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran keadaan suatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti’arah maupun dengan tasybih sarih (penyerupaan yang jelas); atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab Allah mengungkapkan ayat-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.[5]
2.      MACAM-MACAM AMTSAL AL-QUR’AN
Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang macam-macam amtsal al-Qur’an. Adanya tersebut disebabkan banyak beragamnya amtsal dalam al-Qur’an, baik yang secara eksplisit menggunakan kata matsal, atau yang tidak menggunakannya.[6] Penulis sedikitnya memberikan perbedaan tentang macam-macam amstal Al-qur’an.
Nasaruddin Baidan mengatakan bahwa secara garis besarnya ada dua macam amtsal Al-qur’an. Pertama disebut secara jelas dan tegas. Sesuatu yang disebut secara jelas diistilahkan oleh al-Suyuthi dalam buku Nasaruddin baidan[7] dan sama dengan pendapat Muhammad Jabir al-Fayad dalam buku Mahfud Masduki, yakni matsal zhahirah; dan yang kedua disebutnya matsal al-kaminah (tersirat)[8]. Sedangkan Manna Khalil Al Qattan membagi amtsal di dalam Alqur’an terdiri dari tiga macam; amsal musarrahah, amsal kaminah dan amsal mursalah[9].
Apabila diamati dengan seksama pembagian amtsal Alqur’an yang di kemukakan oleh al-Suyuthi di atas maka diperoleh gambaran bahwa dalam Alqur’an itu ada matsal dalam arti merupakan dua hal yang berbeda, akan tetapi ada titik kesamaan dalam aspek-aspek tertentu. Ini disebut dengan tasybih tamtsili; dan yang kedua dalam arti peribahasa atau pepatah; atau apa yang disebut dengan amtsal kaminat yang menurut al-Qattan ialah amtsal yang tidak disebut di dalamnya lafal tamtsil secara tegas, namun ia menunjuk kepada makna yang indah dalam ungkapan singkat dan tepat.
Di antara ayat al-Qur’an yang menggambarkan tasybih tamtsili, yakni
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. ( Al-Baqarah, 162)
Suatu keberuntungan yang sangat besar yang akan diperoleh oleh mereka yang menginfakkan harta di jalan Allah; yaitu dengan menanamkan satu modal, maka ia akan menghasilkan keuntungan sampai 700. Itu berarti sama dengan memakai matsal, yakni menyerupakan pekerjaan berinfak itu dengan seorang yang menanamkan sebutir biji, kemudian biji yang satu itu menumbuhkan tujuh tangkai; dan pada setiap tangkai berisi 100 (seratus) buah. Jadi jumlahnya mencapai tujuhratus.[10]
Adapun ayat-ayat Alqur’an yang dapat dikategorikan sebagai bernada (ber-uslub) peribahasa antara lain surat an-nisa’ ayat 123,    مَنْ يَعْمَلْ سُوْءَا يُجْزَبِهِ(siapa saja yang berbuat buruk niscaya dibalasi dengan keburukan pula).
Dikalangan masyarakat manusia juga populer ungkapan “siapa menggali lubang dialah yang menimbunnya”. Meskipun Alqur’an tidak pantas disebut pepatah tapi dari sudut gaya bahasa (uslub) tidak salah bila dikatakan bahwa kitab suci itu juga membawa susunan redaksi yang mirip dengan yang berlaku di kalangan umat. Agaknya pola susunan serupa itu sengaja dibuat Tuhan agar terasa secara mendalam dalam benak si pembaca dan pendengar bahwa Alqur’an sangat indah dan serasi sekali serta dengan situasi dan kondisi mereka. Apabila dalam bahasa mereka ada matsal, ada tasybih, dan sebagainya, maka Alqur’an ada pula hal-hal serupa itu dari segi bentuk dan susunan bahasanya meskipun sedikit berbeda manfaat dan tujuannya bila dibandingkan dengan apa yang mereka pakai dalam berkomunikasi sesama mereka.[11]
Dan pula dalam karangan Manna Khalil Al Qattan, sesuatu  yang  menunjukan tasybih. Amtsal ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an seperti;
a.       Firman Allah swt. mengenai orang-orang munafiq yaitu :
مَثَلُهُمۡ كَمَثَلِ ٱلَّذِي ٱسۡتَوۡقَدَ نَارٗا فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِي ظُلُمَٰتٖ لَّا يُبۡصِرُونَ ١٧ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡيٞ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ ١٨ أَوۡ كَصَيِّبٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ فِيهِ ظُلُمَٰتٞ وَرَعۡدٞ وَبَرۡقٞ يَجۡعَلُونَ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِم مِّنَ ٱلصَّوَٰعِقِ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِۚ وَٱللَّهُ مُحِيطُۢ بِٱلۡكَٰفِرِينَ ١٩ يَكَادُ ٱلۡبَرۡقُ يَخۡطَفُ أَبۡصَٰرَهُمۡۖ كُلَّمَآ أَضَآءَ لَهُم مَّشَوۡاْ فِيهِ وَإِذَآ أَظۡلَمَ عَلَيۡهِمۡ قَامُواْۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمۡعِهِمۡ وَأَبۡصَٰرِهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٢٠

Artinya  :  “perumpamaan  (matsal)  mereka  adalah  seperti orang  yang  menyalakan  api,  maka  setelah  api itu  menerangi  sekelilingnya  Allah  swt. menghilangkan  cahaya  (yang  menyinari) mereka  dan  membiarkan  mereka  dalam kegelapan, dan tidak dapat melihat. Mereka tuli dan  buta,  tidaklah  mereka  akan  kembali  (ke jalan  yang  benar)  atau  seperti  (oang-orang yang  ditimpa)  hujan  lebat  dari  langit  disertai gelap  gulita,  guruh  dan  kilat...  ...  –sampai dengan-  sesungguhnya  Allah  berkuasa  atas segala sesuatu (al-Baqarah ayat 17-20).
Dalam  ayat  ini  Allah  membuat  dua  perumpamaan  (matsal) bagi  orang  munafiq,  matsal  yang  berkenaan  dengan  api, karena di dalam api terdapat unsur cahaya, dan matsal yang berkenaan  dengan  air  atau  seperti  (orang-orang  yang ditimpa) hujan lebat dari langit, karena  di dalam air terdapat unsur  kehidupan.  Dan  wahyu  yang  turun  dari  langitpun bermaksud  untuk  menerangi  hati  dan  kehidupannya.  Allah swt  menyebutkan  juga  keadaan  dan  fasilitas  orang-orang munafiq dalam dua keadaan. Di satu  sisi  mereka  bagaikan  orang-orang  yang  menyalakan api  untuk  penerangan  dan  kemanfaatan  mengingat  mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun  disisi  lain  Islam  tidak  memberikan  pengaruh  “nurNya”  terhadap  hati  mereka.  Karena  Allah  swt menghilangkan  cahaya  (yang  menyinari  mereka)  dan membiarkan  unsur  membakar  yang  ada  padanya.  Inilah perumpamaan  mereka  yang  berkenaan  dengan  api.
Mengenai matsal  mereka yang berkenaan dengan air , Allah swt menyerupakan  mereka  dengan  keadaan  orang  yang ditimpa  hujan  lebat  yang  disertai  gelap  gulita,  guruh  dan kilat. Sehingga  terkoyaklah  kekuatan  orang  itu  dan  ia meletakan jarinya  untuk  menutup  telinga  dan  memejamkan mata  karena  takut  petir  menimpanya.  Inilah  mengingat bahwa  al-Qur’an  dengan  segala  peringatan,  larangan, dan kitabnya  mereka  tidak  ubahnya  dengan  petir  yang  sambar-menyambar.
b.      Allah menyebutkan pula dua macam matsal, al-ma’i dan nari  dalam  surat  al-Rad ayat 17,  bagi  yang  haq  dan  batil, yaitu :
Artinya  :  “Allah  telah  menurunkan  air  (hujan)  dari  langit, maka  mengalirlah  air  dilembah-lembah menurut  ukurannya,  maka  arus  itu  membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang  mereka  lebur  dari  dalam  api  untuk membuat  perhiasan  atau  alat-alat,  ada  (pula) buihnya  seperti  buih  arus  itu.  Demikianlah Allah SWT. membuat perumpamaan (mitsal) bagi yang  haq  dan  batil.  Adapun  buih  itu  akan hilang  sebagai  sesuatu  yang  tidak  ada harganya.  Adapun  yang  memberi  manfaat kepada  manusia,  maka  ia  tetap  di  bumi. Demikianlah Allah SWT. membuat perumpamaan tersebut”. (Ar Ra’d (13); 17)[12]
Amstal kaminah, yang menunjukkan didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisahan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam keadaan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, diantaranya:
a.       Ayat-ayat  yang  senada  dengan  perkataan, (sebaik-baik  urusan  adalah  pertengahannya).  Yaitu seperti dalam firman Allah, diantaranya adalah sebagai berikut :
1)      Surat al-Baqarah ayat 68 tentang sapi betina.
Artinya  :”Sapi  betina  yang  tidak  tua  dan  tidak muda, pertengahan antara itu “.
2)      Surat al-Furqan ayat 67 tentang nafkah.
Artinya  :  “Dan  mereka  yang  apabila membelanjakan  (harta)  mereka  tidak lebih-lebihan  dan  tidak  pula  kikir  dan pembelanjaan  itu  ditengah-tengah antara yang demikian itu”.
b.      Ayat-ayat  yang  senada  dengan  perkataan.  Seperti  : (khabar  itu  tidak  sama  dengan  menyaksikan  sendiri  ), misal firman Allah swt. tentang Ibrahim dalam surat al Baqarah ayat 260.
Artinya  :  ”Allah  berfirman,  apakah  kamu  belum percaya? Ibrahim  menjawab;  saya  telah percaya, akan tetapi agar bertambah teguh hati saya”.
c.       Ayat yang senada dengan perkataan (sebagaiman kamu menghutangkan,  maka  kamu  akan  dibayar),  seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 123.
Artinya : “Barang  siapa  mengerjakan  kejahatan, niscaya  akan  diberi  pembalasan  dengan kejahatan itu”.
d.      Ayat yang senada dengan perkataan ( orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama). Misalnya firman Allah SWT melalui lisan Ya’qub dalam surat Yusuf ayat 64;
Artinya : “Bagaimana aku mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu”.[13]
Amtsal Mursalah, yakni  kalimat-kalimat  bebas  yang  tidak  menggunakan lafadh  tasybih  secara  jelas. Tetapi  kalimat-kalimat  itu berlaku secara matsal, seperti firman Allah swt. yaitu ;
a.       Surat al-Baqarah ayat 216
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu”.
b.      Surat al-Baqarah ayat 249
“Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah”.
c.       Surat al-Hasyar ayat 14
“kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah”.

3.      FAEDAH-FAEDAH AMTSAL
Apabila di amati berbagai amtsal Alqur’an maka ditemukan bahwa pengungkapan amtsal tersebut mengandung bermacam-macam faedah; bahkan al-Qathtan sampai menyebutkannya sebanyak delapan buah.[14] Dan al khidr Husayn  dalam buku Nasruddin Baidan, menyimpulkan menjadi tujuh buah.[15]
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, yang jelas amtsal Alqur’an mengandung banyak faedah. Namun secara kasar faedah-faedah tersebut dapat dikategorikan kepada dua kelompok besar: pertama faedah umum, dan kedua faedah khusus. Yang dimaksud faedah umum adalah amtsal yang menggambarkan berita yang abstrak dalam bentuk kongkret sehingga seakan-akan dapat diraba atau dipegang seperti perumpamaan Alqur’an terhadap hapusnya pahala berinfak bagi mereka yang riya dengan menggambarkan bagaikan batu licin yang permukaannya tertutup oleh tanah. Kemudian datang hujan lebat menimpanya, maka habislah semua tanah itu dari atas batu tadi. Inilah yang digambarkan Tuhan dalam ayat 264 dari Al-Baqarah yang berbunyi:
فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَيۡهِ تُرَابٞ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٞ فَتَرَكَهُۥ صَلۡدٗاۖ لَّا يَقۡدِرُونَ عَلَىٰ شَيۡءٖ مِّمَّا كَسَبُواْۗ ... ٢٦٤
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.”
Tampak dengan jelas dari perumpamaan itu, pahala yang sangat abstrak dan tak mungkin tercapai oleh indera manusia dapat tergambar secara gamblang, sehingga seakan-akan dapat dipegang dengan tangan dan dilihat oleh mata. Di sinilah terletak suatu keindahan bahasa dengan menggunakan kalimat amtsal. Banyak ayat Alqur’an yang menggambarkan hal-hal yang sangat abstrak dengan menggunakan bentuk amtsal seperti penggambaran Alqur’an terhadap kehidpan kelak; baik kehidupan mereka yang memperoleh nikmat dalam surga, maupun mereka yang diazab dalam nereka. Hal-hal yang sangat abstrak serupa itu dapat diinformasikan kepada umat manusia secara gamblang dan meyakinkan dengan mengunakan uslub amtsal.[16]
Adapun yang dimaksud dengan faedah khusus ialah kandungan kalimat atau ungkapan ayat yang mengandung amtsal itu membawa pesan khusus yang tidak ada pada kalimat amtsal yang lain; antara lai sebagai berikut:
1.      Untuk menimbulkan minat dalam beribadah seperti berinfak, sehingga umat tidak segan-segan membelanjakan harta mereka di jalan Allah demi meraih keuntungan yang berlipat ganda seperti dicontohkan dalam al-Baqarah ayat 261;
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang  menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”
2.      Untuk membuat seseorang lari dari perumpamaan yang disebut dalam ayat, karena perumpamaan tersebut termasuk yang dibenci oleh tabiat seperti memakan daging dari bangkai saudaranya sendiri sebagaimana digambarkan Alqur’an dalam ayat 12 dari al-Hujarat:
وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ ... ١٢
(dan janganlah sebagian kamu menggunjing (aib) sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya).
3.      Untuk memuji sesuatu yang dicontohkan (al-mumatsal) seperti pujian Allah bagi para sahabat Rasul Allah dalam ayat 29 dari surat al-Fath sebagai berikut:
Artinya : (demikianlah sifat-sifat mereka di dalam Taurat dan di dalam Injil; yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya (batangnya). Tanaman itu membuat kagum penanam-penanamanya; (sebaliknya) orang-orang kafir menjadi jengkel dan gigit jari).
Ayat diatas menggambarkan perkembanagan sahabat Rasul Allah yang pada mulanya dalam kondisi yang amat lemah karena jumlah mereka sangat kecil, boleh dihitung dengan jari (tak sampai sepuluh orang). Kemudian jumlah tersebut terus meningkat, akhirnya menjadi suatu masyarakat muslim setelah mereka pindah ke Madinah. Perkembangan yang demikian pesat membuat hati mereka senang dan bangga sebagai muslim; sementara kaum kafir semakin geram dan marah melihat umat Islam semakin kuat dan tangguh. Ini terbukti, penaklukan Mekkah 8 H. Disaksikan sekitar sepuluh ribu sahabat Rasul Allah. Ini betul-betul suatu jumlah yang sangat menakjubkan sebab tak sampai sepuluh tahun berselang jumlah mereka sudah demikian ramai, padahal di awal dakwah Rasul Allah jumlah tersebut tak sampai sepuluh orang sebagaimana telah disebut.
Jumlah yang demikian besar dipuji karena tak mungkin hal yang dicapai tanpa kesabaran dan ketabahan mereka dalam berjuang meninggikan kalimat tauhid.[17]
4.      Untuk mencela. Ini terjadi bila menjadi perumpamaan itu sesuatu yang dianggap buruk oleh manusia seperti menyerupakan seseorang ‘alim dengan anjing karena si ‘alim itu tak mampu mengendalikan hawa nafsunya lalu ia melakukan perbuatan tercela sebagaimana digambarkan Allah dalam ayat 176 dari al-A’raf yang berbunyi;
وَلَوۡ شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَاۚ ... ١٧٦
176. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Anjing adalah jenis hewan yang terburuk, bahkan di pandang sebagai najis yang amat berat oleh agama, sehingga bila bejana yang dijilatnya, wajib dicuci tujuh kali, dan salah satunya dengan tanah seperti ditegaskan dalam hadits Rasul Allah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairat; “Apabila anjing minum pada bejana salah seorang di antara kamu, maka hendaklah bejana itu dicuci tujuh kali”; dan pada riwayat lain dikatakan; “Untuk membersihkan bejanamu bila dijilat anjing ialah dengan membasuh tujuh kali, satu di antaranya dengan tanah”. Dengan dijadikannya anjing tersebut sebagai perumpamaan seperti dalam ayat tadi, maka sekaligus menggambarkan betapa tercelanya orang yang bersifat seperti itu karena ia diserupakan dengan hewan yang keji dan hina.
5.      Untuk menjadi hujjah (argumen) atas kebenaran seperti dalam firman Allah dalam ayat 75 dari al-Nahl yang berbunyi;
۞ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا عَبۡدٗا مَّمۡلُوكٗا لَّا يَقۡدِرُ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَمَن رَّزَقۡنَٰهُ مِنَّا رِزۡقًا حَسَنٗا فَهُوَ يُنفِقُ مِنۡهُ سِرّٗا وَجَهۡرًاۖ هَلۡ يَسۡتَوُۥنَۚ ... ٧٥
75. Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama?
Ayat di atas menggambarkan betapa tidak berdayanya berhala-berhala yang mereka sembah. Kondisi yang demikian ibarat budak yang tak punya apa-apa serta tak punya wewenang sedikitpun; jangankan atas pihak lain di luar dirinya, bahkan atas dirinya pun dia tidak berwenang. Sebaliknya seorang yang bukan budak, dan Tuhan beri dia kelapangan rezeki yang berlimpah, maka ia dapat berinfak sesuka hatinya baik secara tersembunyi atau terang-terangan. Jadi jelas tidak sama karena yang pertama sangat lemah dan sedikit pun tidak berdaya; sedang yang kedua amat kuat dan mempunyai wewenang penuh sehingga ia dapat berbuat leluasa. Begitulah perumpamaan antara ketidakberdayaan berhala jika dibandingkan dengan kemahakuasaan Allah. Jadi matsal serupa ini berfungsi sebagai hujjah atas kebenaran yang hak dan kebatalan yang batil.[18]
4.      TUJUAN AMTSAL
Tujuan amtsal, yakni agar umat manusia mengambil pelajaran darinya. Artinya, contoh yang baik untuk dijadikan teladan, sebaliknya perumpamaan yang jelek agar dapat berusaha menghindarinya. Dalam kaitan ini firman Allah:
وَلَقَدۡ ضَرَبۡنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ مِن كُلِّ مَثَلٖ لَّعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٧
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran” (As Zumar ayat 27)
وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir” (Al-Hashr, ayat 21)
Jadi jelaslah tujuan pengungkapan amtsal  tersebut ialah agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan sehingga mereka terbimbing ke jalan yang benar demi meraih bahagia dunia akhirat.[19]
5.      URGENSI AMTSAL
Telah disinggung bahwa faedah umum dari matsal adalah dapat memvisualisasikan hal-hal yang bersifat abstrak.
Apabila kita amat secara seksama memvisualisasikan hal-hal yang bersifat abstrak kadang-kadang dirasa amat penting. Apabila dalam upaya menyampaikan suatu informasi untuk menyeru orang lain agar tergugah untuk mengikuti apa yang dianjurkan. Seandainya kondisi abstrak tidak di jelaskan dalam bentuk figur yang dapat dibayangkan atau dipahami maka akan terlalu sukar bagi audiens (pendengar) menyerap isi pembicaraan; apalagi bila yang dibicarakan itu hal-hal yang sangat abstrak seperti surga, neraka, alam barzakh, dan sebagainya yang berhubungan dengan alam akhirat. Di sinilah terletak salah satu peran penting dari amtsal Alqur’an karena dengan memakai amtsal, maka hal-hal yang gaib dapat digambarkan seakan-akan hadir dihadapan kita. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi pembaca dan pendengar memahami dan menghayati pesan-pesan yang disampaikan oleh Allah. Alqur’an sebagaimana diketahui ialah kitab hidayah yang selalu memberikan bimbingan yang dinamis dan segar kepada umat; dan dengan adanya amtsal dalam kitab suci tersebut, maka terasa sekali sangat pentingnya kajian ini sehingga kandungnya dengan cara yang tidak terlalu sukar dan sekaligus dapat membuat mereka tertarik serta tidak membosankan. Berbagai ayat Alqur’an yang telah dikemukakan di atas yang berisi amtsal cukup menjadi bukti atas kebenaran penelitian ini.[20]
Tertera dalam karangan Manna Khalil Al Qattan harus hati-hati menggunakan matsal, Sebagaimana telah menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amtsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai  dengan isi amtsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah berlaku sebagai matsal, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat Qur’an sebagai matsal. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat amtsal dalam Kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.[21]




III.             PENUTUP
A.    Simpulan
Amtsal (permisalan, perumpamaan) sesuatu kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan ataupun yang mati, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang nyata, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik, dan mempesona oleh amtsal. Karena itulah maka amstal lebih dapat mendorong jiwa untuk lebih mudah memahami dan menerima makna yang dimaksudkan. Serta amstal termasuk salah satu uslub Alqur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatan.
Disamping itu amtsal Alqur’an banyak mengandung pelajaran (faedah-faedah) dan hikmah yang dapat kita petik sebagai bahan perenungan dalam menghayati arti hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.




DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Ali, Fungsi Perumpamaan Dalam Al-Qur’an, Jurnal Tarbawiyah Volume 10 Nomor 2  Edisi Juli-Desember 2013
Abd Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2014)
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011).
Manna Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor, PT. Pustaka litera AntarNusa, 1987).
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab (Kajian atas amtsal Al-Qur’an), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012).





[1] Muhammad Ali, Fungsi Perumpamaan Dalam Al-Qur’an, Jurnal Tarbawiyah Volume 10 Nomor 2  Edisi Juli-Desember 2013, hlm. 21-22
[2] Abd Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2014), hlm. 146
[3] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 248
[4] Ibid, hlm.249
[5] Manna Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor, PT. Pustaka litera AntarNusa, 1987), hlm. 400
[6] Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab (Kajian atas amtsal Al-Qur’an), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 42-43
[7] Nashruddin Baidan, Op cit, hlm. 251
[8] Al amtsal azh-zhahirah, yaitu matsal yang secara eksplisit menggunakan kata matsal, baik dalam bentuk tasybih maupun muqaranah, baik dalam bentuk ungkapan ringkas dan pendek maupun dalam bentuk uraian cerita yang panjang. Dan  Al-amtsal al-Kaminah, matsal ini sebenarnya hampir sama dengan Al amtsal azh-zhahirah, hanya saja tidak secara eksplisit mencantumkan kata matsal. Dengan pengertian ini, maka semua kisah dalam al Qur’an dapat dipandang sebagai amtsal kaminah. Ibid, hlm. 43
[9] (a) Amtsal musarrahah, ialah yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsar seperti ini banyak ditemukan dalam al Qur’an. (b) amtsal kaminah, yaitu yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas tamsil (pemisahan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. (c) amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal.  Manna Khalil Al Qattan, Op cit,, hlm 401-404
[10] Nashruddin Baidan, Op cit, hlm. 252
[11] Ibid, hlm. 252-253
[12] Manna Khalil Al Qattan, terj. Mudzakir AS, Op cit,, hlm 401-402
[13] Manna Khalil Al Qattan, terj. Mudzakir AS, Op cit, hlm 403-404
[14] Ibid, hlm. 406
[15] Nashruddin Baidan, Op cit, hlm. 254
[16] Ibid, hlm 255.
[17] Ibid, hlm 257.
[18] Ibid, hlm 258
[19] Ibid, hlm 259.
[20] Ibid, hlm 260
[21] Manna Khalil Al Qattan, terj. Mudzakir AS, Op cit, hlm 408

Tidak ada komentar:

Posting Komentar